Polemik Nasab dan Perjuangan Kesetaraan


Simbol sisir dalam logo Al-Irsyad 
melambangkan kesetaraan

Lebih dari seabad yang lalu, saat Hindia Belanda masih berkuasa, strata sosial menjadi penentu takdir setiap individu. Dalam masyarakat yang terbagi secara ketat ini, harapan untuk "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah" hanyalah mimpi kosong. Peribahasa ini, yang menggambarkan kesetaraan dan keseimbangan, nyaris tak terdengar dalam realitas hidup kala itu.

Ketidaksetaraan merasuki segala aspek kehidupan. Nasab, pangkat, dan harta menentukan nasib seseorang. Tidak semua anak negeri berhak atas pendidikan yang layak. Status sosial jelas tergambar dari gelar dan pakaian yang dikenakan, bahkan sering kali dibalut dalam dalih agama. Gelar-gelar ini hanya boleh disematkan oleh segelintir orang, sedangkan pakaian pun menjadi simbol derajat pemakainya.

Di tengah kekelaman ini, Marco Kartodikromo mencuat sebagai suara yang menantang ketidakadilan. Dalam penjara Batavia pada tahun 1917-1918, ia menulis novel berjudul Student Hidjo. Novel ini menggambarkan perjalanan seorang pribumi bernama Hidjo yang menuntut ilmu di Institut Teknologi Delft, Belanda. Hidjo, dengan gaya hidup Eropa-nya—bercelana panjang, jas, berdasi, dan pena yang terjepit di saku—menggambarkan modernitas seorang pribumi di negeri kolonial. Hidjo makan di restoran, menonton opera, piknik, dan naik trem, menikmati layanan dari pelayan Belanda, sebuah kenyataan yang bagi Marco, penuh ironi dan semangat revolusioner.

Marco, yang juga anggota Sarekat Islam afdeeling Surakarta, melawan rasisme dengan tulisan-tulisannya. Sejak bekerja di Medan Prijaji Bandung pada 1911, ia menulis kritik pedas terhadap pemerintah kolonial. Pertemuannya dengan Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad, menambah api perjuangannya. Fatwa-fatwa Surkati yang dimuat di Oetoesan-Hindia memicu polemik, menyingkap isu rasisme yang diselubungi dalih agama.

Fatwa Syaikh Ahmad Surkati mengenai kafa’ah atau hukum sekufu dalam pernikahan, memicu kontroversi besar, terutama di Solo. Dalam lawatannya ke kota itu pada Oktober 1911 sebagai penilik Jamiatul Khair, Surkati menyerukan pentingnya kesetaraan dan menentang hak-hak istimewa yang dijaga turun-temurun oleh segolongan elit.

Kontroversi ini memicu kerenggangan antara Surkati dan Jamiatul Khair, lembaga yang mengundangnya. Pada 1914, Surkati mundur dan mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Dengan dukungan tokoh-tokoh kaya seperti  Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy dan Sayyid Alwi bin Abdullah Al-Attas,      sekolah ini berkembang pesat. Al-Irsyad menjadi simbol perlawanan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan, mengusung konsep al-musawa atau kesetaraan.

Prinsip _al-musawa_ tercermin dalam syair _al-Ummahatul Akhlaq_ yang diajarkan Surkati: "Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan, tetapi karena ilmu dan adab. Dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal".  Prinsip al-musawa yang bermakna kesetaraan itulah yang membuat Bung Karno, presiden pertama Indonesia, menyebut Surkati sebagai Abaa Ruh al-Jalil, yang bermakna bapak yang telah memberikan ruh kemuliaan. Bagi Surkati, "Untuk mencapai sebuah kemerdekaan tidak dapat diraih dengan jiwa-jiwa yang rendah". Oleh karena itu, Bung Karno pernah menyatakan bahwa Surkati telah ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia.

Tulisan serupa di atas pernah kuhidangkan di tengah isu yang masih dingin, yang mengangkat nama Surkati dan Marco, dua nama tokoh bangsa yang saling kontradiktif, mencerminkan dua ideologi yang berseberangan, namun bersatu dalam pandangan akan kesetaraan manusia dalam potret bangsa terjajah. Terjajah oleh aturan diskriminatif penguasa dan tertindas oleh dogma agama yang kerap kali diperkeruh oleh kebodohan dan fanatisme nasab.

Hari ini, isu menarik itu kembali mengemuka. Polemik tentang keabsahan nasab yang menyeret banyak tokoh, padahal sesungguhnya, keabsahan nasab tak semestinya menjadi topik utama. Yang lebih penting adalah pemahaman bahwa kebanggaan seseorang tak diukur dari garis keturunannya. Status istimewa tak semestinya didasarkan pada fanatisme kesukuan, apalagi menumbuhkan rasisme dengan membangkitkan propaganda rasial yang merujuk pada asal-usul seseorang.

Dalam kontek diaspora yang berlangsung selama ratusan tahun, kenyataan ini berlaku bagi setiap suku bangsa yang hidup dan berkembang di berbagai belahan dunia. Sekecil apapun kontribusinya, setiap individu adalah warga negara yang harus diakui dan diterima tanpa syarat. Tidak boleh ada tindakan diskriminatif, apalagi ketidakadilan, terhadap suku bangsa yang memiliki status yang sama sebagai warga negara yang sah. Anehnya, terhadap etnis lain yang berkontribusi negatif dalam masyarakat, justru dibiarkan dan mendapatkan tempat yang terhormat untuk menguasai semua sektor ekonomi dan kekuasaan. Hakikat keadilan telah ternodai oleh segelintir oknum yang berpikiran rasis, bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang menjadi pewaris prinsip kesetaraan yang ditanamkan oleh pendirinya Syaikh Ahmad Surkati, sampai hari ini terus melaju tiada henti, menyebarkan pendidikan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia, Al-Irsyad juga berkiprah dalam aksi kemanusiaan. Rumah sakit dan klinik didirikan, seperti RS Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Surabaya. Terus mengedepankan amal nyata, Al-Irsyad berkomitmen untuk kemajuan bangsa dan dakwah Islam, menginspirasi dengan motto dari Al-Qur’an: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah."


Abdullah Abubakar Batarfie


Posting Komentar untuk "Polemik Nasab dan Perjuangan Kesetaraan"