Rumah klasik peninggalan Wijkenmaster pertama di Empang, Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Bajened



Rumah bergaya Indische Empire Style bekas kediaman Syaikh Abdurrahman Bin Abdullah Bajened berdiri megah sejak tahun 1920. Di balik dinding-dinding tebalnya yang kokoh, tersembunyi cerita panjang tentang kolonialisme, perjuangan, dan identitas. Pada abad ke-18, bayang-bayang kolonialisme Belanda mulai menyelimuti tanah Jawa dengan pengelompokan penduduk berdasarkan etnis yang dikenal sebagai koloni. Etnis Arab dan komunitas Islam lainnya seperti India, dipersatukan dalam satu kelompok yang nantinya dikenal sebagai "kampung Arab".

Pengelompokan ini, disebut wijken & passen stelsel, menjadi dasar pengaturan kelas penduduk berdasarkan ras. Eropa ditempatkan di kelas atas, orang-orang Timur Asing seperti Cina, Arab, dan India berada di kelas menengah, sementara pribumi asli harus puas berada di kelas bawah. Di tengah ketatnya pengawasan kolonial, kampung Arab mulai terbentuk di Empang, dipimpin oleh seorang Hoofd der Arabieren atau Kapiten. Namun, ketika jumlah penduduk Arab belum mencapai seratus orang, pemimpinnya hanya diberi gelar wijkenmaster atau kepala kampung.


Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Bajened adalah wijkenmaster pertama di Empang. Sebagai tokoh terkemuka dalam komunitas Arab di Buitenzorg, ia tidak hanya memimpin, tetapi juga meninggalkan warisan yang mendalam bagi keturunannya. Dua putranya, Ahmad dan Said, menjadi pionir dalam pemikiran progresif dan modern pada zamannya. Ahmad dan Said dikenal karena keahlian bahasa mereka yang luar biasa, menguasai tidak hanya Arab dan Melayu, tetapi juga Inggris, Prancis, dan Turki. Mereka adalah aktivis Islam yang gigih, terutama dalam gerakan Sjarekat Islam, yang berawal dari Sjarekat Dagang Islamijjah yang mereka rintis bersama Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.

Kisah mereka bermula ketika Ahmad dan Said mengenyam pendidikan di "Asiret Mektebi" di Istanbul, Turki. Sekolah ini didirikan pada tahun 1892 oleh Sultan Abdul Hamid II dan menjadi tempat pembelajaran khusus bagi pelajar dari Hindia Belanda. Mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Ottoman Turki atas inisiatif Konsul Turki di Batavia, Mehmed Kamil Bey, sebagai bagian dari kampanye Pan-Islamisme pada tahun 1898. Di sini, mereka ditempa tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam semangat kebebasan dan perjuangan.

Dalam rumah klasik yang dibangun oleh ayah mereka, terjalin cerita tentang jejak kolonialisme, perjuangan identitas, dan upaya tak kenal lelah untuk membangun masa depan yang lebih baik. Setiap sudut rumah, setiap jendela dan pintu, menyimpan kenangan akan masa lalu yang penuh tantangan. Namun, di balik itu semua, tersimpan pula harapan dan tekad untuk meraih kemerdekaan dan kehormatan bagi komunitas mereka.



Rumah ini tetap terawat dan terpelihara sejak pertama kali dibangun pada tahun 1920. Jendela dari kaca kristal warna-warni mendominasi interior rumah, menciptakan kilauan warna yang mempesona saat cahaya menembus dari balik pintu dan jendela. Dinding rumah yang tinggi dengan pintu-pintu yang saling terhubung antar ruangan dihiasi oleh hiasan jeruji besi dengan motif klasik yang memadukan unsur kolonial dan Arab, menjadikannya ventilasi udara yang terlihat indah. Lantai rumah masih berupa tegel ubin motif klasik dengan paduan warna yang harmonis dengan dekorasi dan furnitur klasik di rumah itu. Terutama almari vanderpol di pojok kanan, berdiri menjadi saksi bisu kemegahan rumah itu di masanya bersama foto-foto yang tertata rapi, potret diri pemilik pertama rumah itu, Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Bajened, dan keluarganya.


Kini, rumah ini dihuni oleh generasi ketiga dan keempat Syaikh Abdurrahman Bin Abdullah Bajened, yang wafat di Bogor pada Hari Ahad 14 Muharram 1326 Hijriyah, atau bertepatan dengan tanggal 16 Februari 1908. Beliau dimakamkan di pekuburan yang beliau wakafkan sendiri untuk warga koloninya sejak tahun 1898, dan hingga sekarang pekuburan itu masih tetap dipakai sebagai pemakaman warga peranakan Arab yang berdomisili di kita dan Kabupaten Bogor dan dikenal dengan Makam Wakaf Los Lolongok, yang lokasinya terletak di Jalan Layung Sari, Empang. Los diambil dari serapan bahasa Belanda yang artinya adalah lapang atau longgar.

Bogor, 13 Juli 2024.
Abdullah Abubakar Batarfie


Ditulis bersamaan dengan kegiatan JAPAS, Jalan Pagi Sejarah bersama Om Pinot yang diikuti oleh 26 peserta lintas usia dari para pegiat dan komunitas sejarah

Galeri JAPAS Empang 1


















Posting Komentar untuk "Rumah klasik peninggalan Wijkenmaster pertama di Empang, Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Bajened"