Jejak Pelukis Ternama Indonesia Berdarah Belanda, Ernest Dezentjé di Kampung Muara Bogor
Ditengah padatnya pemukiman penduduk yang saling berhimpitan dan terkesan kumuh di kampung Muara, terdapat sebuah pemakaman yang luasnya kira-kira kurang dari 100 meter persegi. Karena bukan pemakaman umum maka untuk menuju ke lokasinya tidak akan ditemukan petunjuk atau arah tentang keberadaan dimana lokasi makam itu berada. Juga tidak akan dijumpai ciri yang menandakan adanya sebuah pemakaman seperti para penjual kembang atau bunga yang biasa ditabur oleh para peziarah di atas pusara sebagaimana umumnya tradisi dalam masyarakat Jawa.
Meski pemakamannya terbilang sudah tidak aktif atau asumsi penulis sudah tidak ada jasad baru yang ditanam dalam pemakaman tersebut, atau bisa jadi memang sudah ditentukan sejak semula batas jumlah jenazah yang berhak dimakamkan di lokasi itu. Diantara makam atau kuburan yang seolah sudah menyatu dengan halaman rumah-rumah penduduk, kita akan menemukan sebuah nisan yang berbeda dengan nisan-nisan kuburan disekelilingnya.
Nisan yang terbuat dari bahan marmer putih dan sudah kusam itu bergambar pahatan menyerupai palet, papan yang biasa digunakan oleh pelukis untuk menyiapkan atau mencampur cat sebelum digoreskan ke atas kanvas. Diatas nisan itulah tertulis satu baris kalimat berhuruf kapital yang berbunyi;
Untaian kalimat itu sepertinya sebagai penanda salam perpisahan dari seorang suami yang melepas kepergian istri yang dia cintainya, Siti Rasmani Dezentjé yang wafat pada 23 Desember 1952.
DISINI DIMAKAMKAN
ISTRI SAJA JANG TERTJINTA
SITI RASMANI DEZENTJÉ
Untaian kalimat itu sepertinya sebagai penanda salam perpisahan dari seorang suami yang melepas kepergian istri yang dia cintainya, Siti Rasmani Dezentjé yang wafat pada 23 Desember 1952.
Disampingnya dengan material sama yang terbuat dari bahan marmer putih berbentuk kotak persegi yang berukuran lebih kecil, tertulis nama suaminya Ernest Dezentjé pelukis berdarah Belanda-Prancis yang wafat di Jakarta tanggal 12 Januari 1972, tapi ia dimakamkan pada keesokan harinya dan ditulis dinisannya tanggal 13 Januari 1972. Letak makam kedua pasangan yang saling mencinta itu memang sengaja dibuat berdampingan karena pesan terakhir Dezentjé sebelum wafat, agar jasadnya dibawa ke tanah kelahiran istrinya di Kampung Muara Bogor untuk dipersandingkan bersama orang yang telah dia kasihi dan dicintainya sepanjang hidupnya, Siti Rasmani Dezentjé.
Nisan Makam Siti Rasmani Dezentjé
Letak area pemakamannya berada di kampung Muara Kidul, Desa Pasir Jaya Kecamatan Bogor Barat. Jika dari arah jalan sedane di kampung Arab Empang, lokasinya dapat ditempuh hanya -+ 5 menit saja dengan berjalan kaki melalui jembatan baru di dekat Masjid Almunawar yang berdiri dibantaran sungai Cisadane atau dipertemuan antara sungai Cisadane dan Cipinang Gading yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Leuwi Kuda.
Karya Ernest Dezentjé
Siti Rasmani istri pelukis Ernest Dezentjé adalah wanita sunda yang dilahirkan pada 7 November 1907 di Kampung Muara yang dahulunya tidak banyak dihuni oleh penduduk. Bahkan hingga di tahun 80-an, disekitar pemakamannya masih dikelilingi oleh hamparan sawah dan disebelah timurnya terhampar ladang kirai, pohon sejenis palem-paleman. Rumah kelahiran Siti Rasmani dengan tempat dia dimakamkan bersama suaminya Ernest Dezentjé hanya berjarak kurang lebih 500 meter.
Kampung Muara di masa silam memang menampakan keindahan yang mengsipirasi banyak pelukis beraliran Mooi Indie untuk mengabadikannya diatas goresan kanvas mereka dari sudut dan arah manapun. Karena jika dilihat dari arah timur dan utara kota Bogor, Muara berada diatas perbukitan nan hijau dengan latar belakang panorama gunung salak yang dibawah bukitnya dilintasi oleh dua pertemuan aliran sungai Cisadane dan Cipinang Gading yang secara alamiah terbentuk sebuah lubuk atau dalam bahasa sunda disebut dengan Leuwi yang cukup melebar, hingga berbentuk seperti sebuah pulau kecil, kemungkinan karena itulah hamparan diatas bukitnya dinamakan dengan Muara.
Mooi Indie adalah aliran seni lukis yang berkembang di Hindia Belanda pada abad ke-19. Para seniman Belanda dan Eropa saat itu melukis panorama alam yang menggambarkan keindahan Hindia Belanda dengan tujuan mempromosikan negeri jajahan mereka sebagai daya tarik pariwisata. Salah seorang pelukis dari perupa lainnya berkebangsaan Eropa di Bogor yang beraliran tersebut antaranya adalah Ernest Dezentjé atau biasa dia menulis nama di karyanya dengan Ern.Dezentjé saja. Ia merupakan seorang pelukis otodidak yang mulai melukis pada usia 30 tahun tapi sesekali teman-teman seangkatannya seperti G. Adolf, R. Bonnet, c.L. Dake, Willy Halwyn, dan Van Aken memberikan petunjuk-petunjuk melukis kepadanya. Ia merupakan anggota dari Bataviasche Kunstkring, semacam lingkar seni seniman-seniman Belanda di Hindia Belanda yang aktif sejak tahun 1920. Karya-karya Dezentjé telah berpartisipasi dalam beberapa pameran selama masa aktifnya di Bataviasche Kunstkring tersebut, sepanjang tahun 1936 - 1939.
Lukisan panorama Gunung Salak
karya Ernest Dezentjé
Setelah proklamasi kemerdekaan Dezentjé memilih menjadi warga negara Indonesia. Ia memang dikenal sebagai pelukis pemandangan terkemuka sejak awal dan pernah tinggal di Sumatera selama 5 tahun untuk belajar melukis hutan, ngarai dan danau. Karya Dezentjé dikoleksi oleh banyak penggemarnya termasuk Presiden RI pertama Sukarno, bahkan lukisannya dijadikannya sebagai hadiah kenegaraan, misalnya untuk Presiden Tito dari Yugoslavia dan beberapa tamu negara lainnya.
Salah satu lukisan karya Ernest Dezentjé
Konon perkenalan Dezentjé dengan Sukarno yang terkenal memiliki selera seni yang tinggi ini, jauh sebelum kemerdekaan. Tapi pertemuan yang kedua dengannya adalah sejak berpindahnya kembali pusat Republik Indonesia dari kota Yogyakarta ke Jakarta, setelah berakhirnya agresi Belanda yang ke-2. Mangil ajudan setia Sukarno adalah orang yang berperan penting mempertemukan keduanya di Jakarta yang pencariannya atas perintah Sukarno langsung. Dua sahabat itupun, seniman dan sang Presiden intensif bertemu di Istana.
Di masa Istana dihuni oleh Sukarno, hari-harinya memang senantiasa diramaikan oleh para perupa, baik seni lukis maupun patung. Dullah, Lee Man Fong dan se abrek seniman lainnya menampilkan karya-karya mereka, termasuk karya Dezentjé untuk menghiasi setiap sudut pada dinding Istananya, baik di Istana Merdeka Jakarta, terutama Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Tampak Siring di Bali, hingga puri persemediannya di "Istana" Batu Tulis Bogor, yang sejak berkuasanya Megawati puterinya menjadi Presiden ke-5, dinamakan hingga sekarang menjadi Hing Puri Bima Sakti.
Ernest Dezentjé dan Presiden Sukarno di Istana Bogor
Kegemaran Sukarno bukan hanya pada benda-benda seni yang selalu diburunya kemanapun jika dia menginginkannya, para seniman itupun dihimpunnya dalam satu wadah meski kelak kemudian sebahagian terseret kedalam arus politiknya demi memuluskan ambisinya dengan membentuk sebuah organisasi yang dinamakan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang konsepnya adalah mengajak para pekerja kebudayaan untuk mengabdikan diri pada revolusi. Kelak organisasi bentukan budayawan dan politisi yang Ernest tidak terlibat dan masuk di dalamnya itu, LEKRA dianggap telah berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Atas gagasannyalah pula (Sukarno), para seniman menyusun sebuah buku sebagai karya yang dipandang monumental hingga kini, yaitu Buku Lukisan dan Patung Koleksi Presiden Sukarno. Hampir semua karya para perupa yang dia sukai dan dikoleksi dimuat di buku itu, termasuk koleksi lukisan karya Ernest Dezentjé.
Pameran tunggal Ernest Dezentjé yang pernah dilakukannya di Jakarta antara lain ialah di Kunstzaal Kolff & Co (1936); Charls & Van ES (September 1937) dan Expositiezaal F. van Eelde (Desember 1939). Karyanya antara lain dikoleksi oleh Tropenmuseum, Amsterdam dan Museum Adam Malik, Jakarta.
Ernest, Bung Karno dan Djufriyani
di kediaman Ernest di Bondongan
Dibilangan Bondongan yang sekarang menjadi Gedung PT Bostingko di Jalan Pahlawan Bogor, Dezentjé pernah tinggal dirumah itu bersama istri tercintanya Siti Rasmani. Menurut Dullah, salah satu pelukis aliran realisme ternama Indonesia, yang juga salah satu pelukis dan kurator seni rupa istana semasa kepemimpinan Presiden Soekarno. Hubungan kedua sahabat antara Sukarno dan Dezentjé disebutnya sangat super akrab.
Ernest Dezentjé
Dullah yang pernah berpamitan menemui Dezentjé dan dihadiahi lukisannya sebelum pulang ke Surakarta setelah hampir 10 tahun tinggal di Istana, menyatakan bahwa Surkarno sangat sering mengunjungi rumah Dezentjé di Bogor. Dan bahkan menurutnya disituasi Istana Jakarta dan di Istana Bogor tengah genting-gentingnya akibat agresor Belanda, Bung Karno sempat menitipkan puteranya Guntur Sukarnoputera ke rumah Dezentjé di Bondongan Bogor. Dezentjé memang sangat baik kepada Sukarno dan kepada semua orang, pertolongannya terhadap siapapun tidak akan pernah dipikir panjang, ujar Dullah.
Pasangan Dezentjé dan Siti Rasmani tidak dikaruniai anak kandung, tapi mereka beroleh anak angkat bernama Satria Djupriyani yang diadopsinya dari anak keluarga istrinya atau terbilang masih keponakan Siti Rasmani di Kampung Muara. Djufri tumbuh berkembang mengikuti jejak ayah angkatnya, berkat didikan dan asuhan Dezentjé, Ia-pun menjadi penerus kesenimanannya. Karya-karyanya memiliki kemiripan karena bermazhab sama sebagai pelukis Mooi Indies. Oleh banyak pengamat seni rupa, S.Djufriyani dianggap sebagai reinkarnasinya Ernest Dezentjé.
Pasangan Dezentjé dan Siti Rasmani tidak dikaruniai anak kandung, tapi mereka beroleh anak angkat bernama Satria Djupriyani yang diadopsinya dari anak keluarga istrinya atau terbilang masih keponakan Siti Rasmani di Kampung Muara. Djufri tumbuh berkembang mengikuti jejak ayah angkatnya, berkat didikan dan asuhan Dezentjé, Ia-pun menjadi penerus kesenimanannya. Karya-karyanya memiliki kemiripan karena bermazhab sama sebagai pelukis Mooi Indies. Oleh banyak pengamat seni rupa, S.Djufriyani dianggap sebagai reinkarnasinya Ernest Dezentjé.
Lukisan Bunga Flamboyan
salah satu dari karya S.Djufriyani Dezentjé
S.Djufriani mengawali kiprahnya dalam dunia seni rupa setelah menjadi pemenang pertama dalam kompetisi melukis bertemakan bunga mawar yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1956. Mrs.Eleanor Roosevelt memberinya pujian atas karyanya tersebut.
Lukisan-lukisan karya S.Dufriyani sangat dikagumi dan dihargai dan diantaranya bahkan dikoleksi oleh Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Karyanya banyak diburu oleh banyak kolektor dari mancanegara seperti dari kawasan Asia Timur, Amerika Latin dan Amerika Serikat. Beberapa diantaranya disimpan di Museum Kastell Genhoes Oud Valkenburg.
S Djupriyani yang baru-baru ini sudah wafat (2019), pada saat wafatnya Ia dapat dikatakan sebagai salah seorang pelukis senior tertua di Indonesia yang masih tersisa. S.Djufriani dilahirkan di kampung muara dekat kampung Arab Empang di Bogor pada tahun 1929. S.Dufriyani atau Satria Djufriyani sempat menikah dengan "Ellis", perempuan indo yang konon masih berkerabat dekat dengan ayah angkatnya Dezentjé. Dari pernikahannya itu mereka dikaruniai "2 orang anak laki-laki". Tapi kemudian Ellis dan S.Djufriani berpisah (bercerai), jauh setelah kematian Dezentjé ayah angkatnya. Sejak perpisahan itu, Djufri menikah yang untuk kedua kalinya dan sempat menunaikan ibadah haji.
S.Djufriani dari istri keduanya tidak dikaruniai seorang anak pun, mereka menetap di Desa Kedung Badak Bogor hingga akhir hayatnya. Penulis sempat berjumpa beberapa kali dengan S.Djufriyani di kediamannya, tapi sayang tidak mengetahui akan berita wafatnya.
S.Djufriani dari istri keduanya tidak dikaruniai seorang anak pun, mereka menetap di Desa Kedung Badak Bogor hingga akhir hayatnya. Penulis sempat berjumpa beberapa kali dengan S.Djufriyani di kediamannya, tapi sayang tidak mengetahui akan berita wafatnya.
SILSILAH KELUARGA ERNEST DEZENTJÉ
Ernest Desentjé adalah pelukis berdarah Belanda - Prancis yang memiliki nama lengkap Ernest Regnard Leonce Desentjé. Ia dilahirkan di Jatinegara Batavia (Jakarta) pada tanggal 17 Agustus 1884 dan merupakan anak ke-3 dari delapan bersaudara anak pasangan Leon Caspar zn Desentje dengan Wihelmina Henriette Charlotte Reijnhart atau Wihelmina Dezentje (1861-1917).
Ayahnya Leon Caspar zn Desentjé adalah pria berkebangsaan Belanda-Prancis dengan Ibu Jawa yang dilahirkan di Surakarta pada 05 September 1853 dan wafat di Klaten pada 11 April 1903. Sedangkan Ibunya Wihelmina Desentjé, adalah perempuan berdarah Eropah yang dilahirkan di kota Batavia pada 7 Maret 1861 dan wafat di kota yang sama tanggal 25 April 1917.
Ketujuh orang saudara Ernest Desentjé itu ialah; Leonie Gasparde Angeline Dezentjé (21 Mei 1879-19 Oktober 1948), Leonore Beatrice Eugenie Desentjé (20 Agustus 1881-21 Mei 1912), Leonarde Armeline Mercedes Dezentjé (30 Januari 1888-08 Maret 1889), Fernand René Leandre Dezentjé (22 April 1889-18 Agustus 1889), Ferdinand Augustus Leopold Dezentjé alias Abdullah Dezentjé (12 April 1891), Armand Renier Leonhard Desentjé (17 September 1892-07 Februari 1978) dan Wilhelmina Augustina Leontine Dezentjé (16 Januari 1895-Juni 1964).
Dari delapan bersaudara anak pasangan Leon Caspar dan Wihelmina, hanya Ia (ernest) bersama anak pertama, kedua dan si bungsu yang dilahirkan di kota Batavia (Jakarta), sedangkan ke empat orang lainnya dilahirkan di kota Buitenzorg (Bogor).
Ferdinand Augustus Leopold Dezentjé, adik Ernest Dezentjé atau anak ke-6 pasangan Leon Caspar dan Wihelmina, diketahui telah beragama Islam dengan menambah namanya menjadi Abdullah Dezentjé dan menikah dengan Carolina Alias Aminah Abdullah Lijnis Huffenreuter. Carolina merupakan perempuan indo Eropa kelahiran Buitenzorg 20 Desember 1904 dan wafat di Jakarta pada 14 Desember 1966. Saat ini makamnya berada dalam komplek Masjid Al-Anwar di Rawa Belong, Jakarta Barat.
Potret istri dan anak-anak
Abdullah Dezentjé
Ahmad putera Abdullah Dezentjé
alias Jean Ferolde Dezentjé
Husein Madani a.s William Eddy Claasz
alias Jean Ferolde Dezentjé
Husein Madani a.s William Eddy Claasz
anak tiri Abdullah Dezentjé
Sedangkan Wilhelmina Augustina Leontine Dezentjé atau yang disapa Tien Dezentjé, adik bungsu Ernest Dezentjé mengikuti jejak leluhurnya yang menikah dengan kalangan bangsawan Jawa. Tien dinikahi oleh KGP Hadiwidjojo Maharshitama anak penerus tahta Kasusunan Surakarta Hadiningrat Sinuhun Paku Buwana X (nama lahir; Asma Timur) Raden Mas Sayyidin Malikul Kusno yang sudah dinobatkan sebagai putra mahkota oleh ayahnya Pakubuwana IX sejak ia masih berusia 3 tahun.
Paku Buwana X atau ayah mertua Tien Dezentjé disebut sebagai Sinuhun Wicaksana atau Raja Besar dan Bijaksana yang dikenal sebagai Imam bagi umat Islam di Surakarta dan sokongangannya yang besar terhadap pergerakan Syarekat Islam serta pergerakan nasional lainnya. Paku Buwana X merupakan salah satu dari raja-raja di Nusantara yang dikukuhkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.
Lukisan potret PAKU BUWANA X
Bapak Mertua Tien Dezentjé
Keberadaan Leluhur Dezentjé di Jawa telusurnya dapat diketahui bermula dari August Jan Caspar (1765-1826), seorang pengawal Eropa yang bertugas di Keraton Kasunanan Surkarta pada masa pendudukan Inggris. Konon dari hasil gajinya sebagai perwira itulah yang kemudian dipakainya untuk menyewa tanah Kasusunan di Salatiga yang luasnya hingga ke Ampel dan di Boyolali. Lahan sewaan luasnya itulah yang kelak diwariskannya kepada anaknya Tinus Dezentjé.
Dalam usia 18 tahun, Tinus Dezentjé yang bernama lengkap Johannes Agustinus Dezentjé (1797 - 1839) disebutkan sempat menikah muda dengan Johanna Dorothe Boode. Tapi tiga tahun kemudian pada usia 21 tahun, Ia menikah untuk yang kedua kalinya pada tahun 1819 dengan puteri Sultan Surakarta Raden Ajoe Soran Sara Helena Tjondrokoesoemo (1805-1890) atau puteri Kasusunan Surakarta Pakubuwana IV, Sunan Bagus Raden Mas Subadya. Raden Ajoe Soran Sara Helena juga bersaudara (kakak beradik) dengan Pakubuwana V Sunan Sugih Raden Mas Sugandi, Kasusunan (Sultan) Surakarta 1820 - 1823.
Johannes Agustinus Dezentjé 1797-1839
Lukisan J.C.Muller Kruseman 1835
Lukisan J.C.Muller Kruseman 1835
Semenjak Tinus Dezentjé menjadi bagian dari keluarga kebangsawanan Keraton Kasusunan Surakarta, usaha perkebunan yang dia kelolanya dilahan sewa milik Kasusunan itu kemudian menjadi berkembang pesat. Tinus bahkan ikut merobah gaya hidupnya yang bukan lagi bergaya seperti seorang pemuda Eropa pada umumnya, tapi Ia seolah tampil menjadi seorang layaknya bangsawan Jawa. Setiap kali Tinus berjalan keluar dari kediamannya, Ia akan dikawal oleh para punggawa bayarannya dan disepanjang jalan rakyat duduk bersimpuh tunduk hormat menyambut iring-iringan rombongan Tinus.
Tinus membangun rumahnya yang besar dan berhalaman luas seperti kediaman seorang bangsawan Jawa yang dikelilingi oleh benteng kokoh dan memiliki pintu gerbang dengan gapuranya yang besar. Isi halaman rumahnya dilengkapi dengan berbagai hewan peliharaan yang dibuat seperti taman kebun binatang. Dalam sumber yang lain, rumah yang dihuni oleh Tinus Dezentjé dan istrinya itu memang sebuah villa atau Pesanggrahan Madusita Wedari milik keraton yang sudah berdiri sejak masa Kasusuhunan Surakarta ke-III.
Oleh masyarakat setempat dan rakyat dalam wilayah kekuasaan perkebunannya, Tinus dikenal sebagai seorang yang dermawan dan banyak membantu masyarakatnya dengan memberikan bantuan bibit hewan ternak seperi kerbau ataupun bibit tanaman.
Oleh masyarakat setempat dan rakyat dalam wilayah kekuasaan perkebunannya, Tinus dikenal sebagai seorang yang dermawan dan banyak membantu masyarakatnya dengan memberikan bantuan bibit hewan ternak seperi kerbau ataupun bibit tanaman.
Pintu Gerbang (gapura) kediaman (KITLV)
Berkecamuknya perang Jawa, De Java Oorlog atau yang terkenal dengan Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1930), yaitu adanya sebuah kesadaran perjuangan rakyat Jawa yang dilandasi oleh kobaran api semangat jihad fisabilillah untuk berlepas diri dari genggaman kekuasaan penjajah Belanda. Maka untuk mengamankan lahan perkebenunannya dari akibat dampak perang tersebut, Tinus telah menyewa kurang lebih 1500 orang serdadu asing yang dinamakan orang sebagai "Datasement Dezentje". Ia bahkan dianugerahi Orde de Nederlandse Leeuw dari kerajaan Belanda atas jasanya yang sudah berhasil mempengaruhi Sri Susuhunan Surakarta untuk mengambil sikap netral pada perang Jawa tersebut.
Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro, oleh Nicolaas Pieneman sumber wikipedia
Johannes Augustinus Dezentjé (Tinus Dezentjé) atau kakek buyutnya Ernest Dezentjé wafat pada tanggal 7 November tahun 1839 dalam usia relatif masih terbilang muda, 42 Tahun. Dari pernikahannya dengan Raden Ajoe Soran Sara Helena Tjondrokoesoemo mereka dikaruniai anak yang salah satunya adalah Johannes Augustinus Diederik Caspar Dezentje, kakek Ernest Dezentjé atau orang tua kandung dari ayahnya Leon Caspar zn Desentjé.
Johannes Augustinus Diederik Caspar Dezentjé
Tinus mewarisi rumah dan lahan perkebunan seluas 1.255 hektar yang membentang dari Salatiga hingga ke Boyolali. Disebutkan bahwa perkebunan miliknya itu pernah mengalami gagal panen dan terjerat oleh hutang yang menumpuk (wallahu'alam).
Makam pasangan Tinus Dezentjé dan istrinya Raden Ajoe Soran Sara Helena Dezentjé, konon hingga kini masih dapat dijumpai di daerah Ampel Boyolali. Makam yang oleh komunitas historia itu dikenali sebagai kerkhof Dezentjé.
Sebagian dari Dezentje Cemetery Ampel atau Kerkhof Dezentjé di Desa Candi, Ampel, Boyolali
Banyak sumber yang menulis tentang keturunan Tinus Dezentjé ini lebih dari satu. Ada yang menyebutkan lebih dari satu orang selain Johannes Augustinus Diederik Caspar Dezentjé atau kakek Ernest Dezentjé (pelukis). Dari sumber lain dituliskan anak-anaknya lebih dari empat orang. Bahkan ada yang menyebutkan diantaranya bukan berasal dari rahim Raden Ajoe Soran Sara Helena.
Johannes Augustinus Diederik Caspar Dezentjé lahir di Semampir kota Surabaya (25 Agustus 1839) dan wafat di kota yang sama (29 April 1871). Ia menikah dengan Raden Ajoe Soelastri Tedjaningsih (1769-1850) atau ibu kandung dari Leon Casper zn Dezentjé (ayah Ernest Dezentjé pelukis). Kedua makam mereka berada di Dezentje Cemetery Ampel / Kerkhof Dezentjé, kompleks makam keluarga Dezentjé di Desa Candi, Ampel, Boyolali.
Dari hasil pernikahan pasangan Johannes Augustinus Diederik Caspar Dezentjé dan Raden Ajoe Soelastri Tedjaningsih diperoleh tiga orang anak termasuk Leon Casper zn Dezentjé, kakek Ernest Dezentjé (pelukis). Mereka adalah Raymond Roger Dezentjé (1851) dan Jan Diederik August Dezentjé (1867 -1937). Dari sumber lainnya disebutkan pula bahwa Elizabeth van den Bergh merupakan istri kedua Johannes Augustinus Diederik Caspar Dezentjé yang tidak dikarunia anak.
Elizabeth van den Bergh
Sekedar catatan tambahan dan penutup dari tulisan ini. Berdasarkan temuan catatan kekerabatan keluarga kebangsawanan Kasusunan Surakarta, memang banyak ditemukan nama-nama Eropa hasil hubungan silang kawin di antara mereka, termasuk dengan keluarga Dezentjé. Dapat dikatakan trah kebangsawanan Kasusunan Surakarta sebahagiannya sudah tidak lagi murni Jawa, tapi telah bercampur dari hasil kawin campuran dengan berbagai ras lain, khususnya Belanda dan Indo Eropa lainnya. Karena itu dalam anggota keluarga dilingkungan kebangsawanan Kasusunan Surakarta tidak sedikit yang telah beragama kristen/katholik akibat percampuran kawin mawin tersebut, padahal akar sejarah kerajaan Surakarta sangat kuat dan kental pengaruhnya oleh Islam. Bahkan ada diantara keturunan hasil kawin mawin ini kelak memiliki andil besar pengaruhnya pada organisasi pergerakan umat katholik, seperti Raden Ay.Maria Soelastri Soejadi Darma Sepoetra Sastraningrat yang menjadi tokoh pendiri Wanita Katholik di Indonesia.
Bogor, 29 Juni 2020, Abdullah Abubakar Batarfie. Koleksi foto keluarga Dezentjé penulis dapatkan dari situs geni kekerabatan keluarga Dezentjé. Dan foto lukisan karya Ernest tersebut diambil dari list situs auction online, keterangan lukisan karya J.C.Muller Kruseman dan foto-foto lainya penulis dapatkan dari beritajateng.id dan dari berbagai sumber lainnya.
Bogor, 29 Juni 2020, Abdullah Abubakar Batarfie. Koleksi foto keluarga Dezentjé penulis dapatkan dari situs geni kekerabatan keluarga Dezentjé. Dan foto lukisan karya Ernest tersebut diambil dari list situs auction online, keterangan lukisan karya J.C.Muller Kruseman dan foto-foto lainya penulis dapatkan dari beritajateng.id dan dari berbagai sumber lainnya.
Posting Komentar untuk "Jejak Pelukis Ternama Indonesia Berdarah Belanda, Ernest Dezentjé di Kampung Muara Bogor "
Posting Komentar