H. Husein Bajerei adalah seorang wartawan, politisi, dan budayawan Betawi yang namanya terukir abadi dalam sejarah. Minatnya terhadap dunia jurnalistik tumbuh sejak masa muda, membawanya menyusuri jalan berliku dalam karir yang gemilang. Ia pernah menjadi bagian dari sejumlah media terkemuka seperti Pemuda Masyarakat, Gema Pemuda Al-Irsyad, Media HMI, Suara Al-Irsyad, Ihya Ulumiddin, PENA, Harian Pelita, Media Persatuan, dan Penerbitan Alam’arif. Puncak karirnya dalam bidang jurnalistik adalah saat ia mengasuh "Laporan Berkala" Al-Irsyad, yang akrab disingkat Lapla.
Di luar dunia jurnalistik, Husein juga aktif dalam berbagai organisasi. Ia pernah memegang posisi penting seperti Ketua Penerangan dan Publikasi Bagian Kesenian Dewan Mahasiswa UI, Ketua Departemen Penerangan PB HMI masa kepengurusan Ismail Hasan Metareum SH, anggota Dewan Pertimbangan Perserikatan Organisasi-organisasi Islam Seluruh Indonesia (PORPISI), anggota Dewan Pertimbangan BKS Pemuda-Militer, dan Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
Husein Bajerei adalah sosok yang menjelajah mimpi-mimpi besar dari lorong sempit Krukut hingga panggung nasional, meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam catatan sejarah Betawi.
Dalam otobiografinya yang berjudul "Anak Krukut Menjelajah Mimpi," Husein mengisahkan kelahirannya di Gang Petasan, Krukut, pada 21 April 1933. Nama gang yang unik ini tak berubah sejak masa kejayaan pabrik petasan di sana. Krukut sendiri telah dikenal luas di Betawi, baik sebelum maupun sesudah dicabutnya wijkenstelsel, sebuah kebijakan kolonial yang memaksa warga etnis Arab di Batavia untuk hidup di dekat rawa-rawa di sekitar Pasar Ikan dan Pekojan, bersanding dengan nyamuk sebesar lalat.
Seiring waktu, setelah aturan kependudukan kolonial itu dicabut, warga etnis Arab mulai pindah ke daerah yang lebih sehat seperti Tanah Abang dan Krukut. Di antaranya adalah Syaikh Agil Badjerei, kakek Husein, yang hijrah dari Hadramaut ke Batavia pada abad ke-18. Agil menikahi seorang wanita Betawi bernama Nafisah, yang akrab disapa Mak Pise oleh cucu dan kerabatnya, termasuk oleh Husein. Dari rahim Mak Pise lahirlah dua putra, Saleh dan Abdullah, yang kemudian menjadi fondasi dari keluarga besar Bajerei di Betawi.
Di tubuh Hussein Badjerei, Mengalir darah Irsyadi
Abdullah Agil Badjerei lahir di Pekojan pada 1 Januari 1904, di tengah hiruk-pikuk Batavia yang sedang beranjak dari tradisi lama menuju modernitas. Sepuluh tahun setelah Syaikh Ahmad Surkati mendirikan sekolah Al-Irsyad pada 6 September 1914, Abdullah dimasukkan oleh ayahnya ke institusi baru yang bersinar bak meteor di langit pendidikan, mengungguli Jamiat Khair, lembaga yang awalnya mengundang Syaikh Surkati ke Batavia. Syaikh Ahmad Surkati, yang dihormati Abdullah dengan sapaan Mualim Ahmad, bahkan mempercayainya untuk mendampingi mengajar pada usia belum genap sembilan belas tahun. Honor yang diterimanya sebesar 30 gulden, setara dengan harga 1,2 ton beras kala itu, adalah penghargaan atas bakat dan dedikasinya.
Madrasah pertama Al-Irsyad di Jalan Jati Baru Petamburan berdiri kokoh bersamaan dengan lahirnya Jum'iyyah, organisasi yang menjadi tulang punggung madrasah tersebut. Lahirnya dua lembaga penting yang saling terikat ini dipicu oleh isu utama tentang kesetaraan manusia. Ketidaksepakatan antara para pemuka Jamiatul Khair dengan Syaikh Ahmad Surkati mengenai persamaan derajat manusia menimbulkan keresahan, yang berimplikasi pada strata sosial dan keagamaan. Mereka menolak penggunaan titel di depan nama seseorang yang didasarkan pada hak paten nasab, sebuah praktik yang membatasi kesempatan berdasarkan garis keturunan.
Dalam suasana transformasi ini, Abdullah Agil Badjerei tumbuh dan berkembang, membawa semangat pembaruan yang diwariskan oleh Syaikh Surkati. Melalui tangan-tangannya, ia turut membentuk generasi baru yang berlandaskan pada prinsip kesetaraan dan keadilan, mengukir sejarah pendidikan di tanah Betawi dengan tinta emas.
Abdullah Agil Badjerei bukan sekadar seorang pengajar; ia adalah penerjemah setia bagi gurunya, Mualim Ahmad. Abdullah tak hanya membantu dalam korespondensi, tetapi juga menerjemahkan pidato, menjadi juru bicara dalam forum diskusi dan debat, serta menulis artikel untuk berbagai majalah. Seringkali, ia mewakili Mualim Ahmad sebagai pemateri bagi pelajar Muslim di sekolah-sekolah Barat, khususnya di STOVIA, serta dalam forum-forum yang dihadiri kaum intelektual Batavia. Keahliannya dalam bahasa Arab diakui oleh Prof. Dr. Van Nieuwenhuise, yang memberinya julukan "King of The Arabic."
Pada tahun 1923, atas permintaan gurunya, Abdullah menjadi redaktur majalah **Al-Dhakhirah al-Islamiyah** yang dipimpin oleh Syaikh Ahmad Surkati. Sejak itu, meskipun kadang diselingi oleh tokoh-tokoh lain, posisinya sebagai sekretaris (sekjen) organisasi Al-Irsyad di tingkat pusat tak pernah putus sejak 1922 hingga 1954. Abdullah telah menjadi ikon Al-Irsyad yang paling menonjol di setiap kongres, dari Muktamar ke Muktamar, sejak masa "Algemene Vergadering” (Rapat Umum) yang diselenggarakan setiap tahun.
Kehadiran Abdullah Agil Badjerei dalam Muktamar terakhir yang dihadirinya adalah saat Muktamar ke-30 pada tahun 1970 di Bondowoso, kota bersejarah yang menjadi saksi "revolusi" perjuangan dakwah Al-Irsyad, termasuk "Peristiwa Berdarah Bondowoso" tahun 1932. Di Muktamar ke-30 inilah, Abdullah terakhir kali tampil bersama sahabat-sahabat seperjuangannya. Bersamanya, terlahir risalah perjuangan yang merumuskan "Ikhtisar Mabadi Al-Irsyad," menjadi Ketetapan Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah ke-30.
Abdullah Agil Badjerei, yang kisah hidupnya bisa mengisi berlembar-lembar jilid, wafat pada 4 November 1971 di Jakarta. Di mata anaknya, Hussein, Abdullah bukan hanya seorang ayah, tetapi juga guru, teman seperjuangan, dan kawan sehari-hari dalam berbagi cerita tentang Al-Irsyad dan Pemimpin Besar Al-Irsyad, Ahmad Surkati, dengan kisah-kisah penuh teladan. Ayah dan anak ini sepanjang hidupnya telah "Menabur hari di Al-Irsyad."
Hussein adalah putra tunggal Abdullah Agil Badjerei dan Rogayah binti Abdullah Ba'Agil. Kakeknya dari pihak ibu, Njid Dulo, dikenal luas di Tenabang sebagai "Merbot kuburan Arab" wakaf Syaikh Said Naum. Hussein kehilangan jejak nama neneknya dari pihak ibu yang asli Betawi. Setelah berpisah dari ibunya, yang dia panggil Umi Yaya, Hussein kecil, yang akrab dipanggil Usin, diasuh dengan penuh kasih sayang oleh neneknya, Mak Pise, bersama kakak-kakak perempuannya. Umi Yaya sempat menikah lagi dengan Derahman Jeni, anak dari Mujeni, yang dikenal sebagai pembela nomor satu Surkati di Betawi. Mujeni, atau Jeni, juga dikenal sebagai kepala kampung atau "Serean."
Jeni dan anaknya Derahman Jeni adalah pendekar Betawi, jagoan ahli pukulan di Tanah Abang. Selama revolusi fisik (1945-1950), Derahman Jeni menjadi pahlawan yang berjuang di garis depan melawan Belanda, membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Kedua tokoh pendekar Betawi ini sangat disegani, membuat kawasan Tanah Abang aman dari gangguan bandit dan begundal.
Abdullah Agil Badjerei, Putra Betawi dalam Kilauan Kesetaraan
Dari pernikahan Abdullah ayah Hussein dengan empat orang istrinya, Hussein memiliki empat belas orang bersaudara, tapi yang paling terdekat dan hidup bersama sepanjang hayatnya yang bukan saja berperan sekedar sebagai kakak melainkan ibu baginya adalah Khadidjah dan Salha, terutama Salha yang sepenuhnya telah dengan segenap hati meluapkan kasih sayang pada "Usin" adiknya. Salha bersuamikan Mochammad Basyadi yang juga telah menjadi orang besar di Al-Irsyad.
Selain aktif dalam berbagai kegiatan penting di Al-Irsyad sejak belia sebagai pengurus teras Pemuda Al-Irsyad, jabatan terpenting Mochammad Basyadi adalah sebagai Sekjen Pengurus Besar (Hoofdbestuur) Al-Irsyad dan Sekretaris Yayasan Al-Irsyad Jakarta, dan sekretaris dari Stichting Surkati. Pernikahan Mochammad Basyadi dan Salha terbilang paling "heboh" di Betawi akibat luapan satu qabilah yang marah karena terjadinya pernikahan beda "kasta". Tapi Abdullah ayah Salha yang teguh pada prinsip almusawa sebagai doktrin Al-Irsyad yang mengusung tentang persamaan kesetaraan, berlangsungnya pernikahan ini tak goyah dari serangan yang menentangnya, satu truk laki-laki dari satu kabilah Abdullah yang tinggal satu koloni di bumi priangan, berhasil dihalau massa yang dikomandani oleh sepasukan anak buah Bang Jeni, jagoan Betawi dari Tenabang, pengikut setia Syaikh Ahmad Surkati pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Mochammad Basyadi yang pernah memimpin "Orkes Gambus Al-Wardah" dibawah naungan Pemuda Al-Irsyad, bersama istrinya Salha tinggal dan juga ikut bersamanya Mak Pise, di kediamannya yang berada di kampung Kumpi Tamberang di kawasan Petojo, Jakarta Pusat.
Ustadz Mochammad Basyadi yang lulusan sekolah Al-Irsyad Batavia, asuhan dan didikan langsung Muallim Ahmad Surkati ini, wafat di Jakarta pada 14 Desember 1954. Sebagaimana kisah hidup mertuanya Abdullah Agil Badjerei, kisah pengabdian dan keluhuran budi Ustadz Mocahmmad Basyadi jika ditulis perjalanan sepanjang hidupnya yang penuh dengan ketauladanan, bisa jadi akan setebal kitab Sulalatus Salatin. Hussein Badjerei pernah berseloroh terhadap sosok yang dikaguminya itu; "Seandainya ada Nabi setelah Nabi Muhammad, maka Muhammad Basyadilah yang patut menjadi Nabi".
Mohammad Basyadi (kanan) & Abdullah Badjerei
Dua Sekjen Al-Irsyad
Jejak Langkah Hussein Badjerei: Menggapai Cahaya di Tengah Derita
Hussein Badjerei, anak muda dari tanah Betawi, menapaki pendidikan dasar di Hollandsche Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah bergengsi yang dihadiahkan bagi kalangan ningrat pada masa penjajahan Belanda. Namun, takdir berkata lain saat invasi Jepang mengusik ketenangan Jakarta pada tahun 1942. Baru menginjak kelas tiga, sekolahnya harus terhenti. Pendudukan Nippon yang dengan kebijakannya menutup banyak sekolah di ibu kota memaksa Hussein beralih arah.
Satu tahun setelah Jepang mengukuhkan kekuasaan, ayahnya memindahkannya ke Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Jakarta. Sekolah ini dipimpin oleh Ustadz Ali Harharah, seorang orator ulung yang dikenal sebagai "Spreker dari Gang Kenari" oleh wartawan senior Batavia, Saeroen (1920-1962). Ali Harharah adalah sahabat seperjuangan ayah Hussein, keduanya terikat oleh semangat perjuangan yang sama.
Pasca peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, masa-masa sulit melanda keluarga Hussein. Ekonomi yang terbatas memaksanya untuk mandiri. Ia menjajakan manisan mangga di sekolah, sebuah upaya kecil namun penuh makna untuk menambah uang saku. Manisan itu ia buat sendiri dengan modal gula dan mangga yang dipetik langsung dari pekarangan keluarga temannya, Abdul Azis Alkatiri, yang dengan tulus berbagi.
Di tengah keterbatasan, Hussein belajar tentang kerja keras, ketekunan, dan arti persahabatan. Di bangku Madrasah Al-Irsyad, ia tidak hanya menyerap ilmu dari kitab-kitab, tetapi juga belajar tentang kehidupan, tentang bagaimana menghadapi masa sulit dengan kepala tegak. Di bawah bimbingan Ustadz Ali Harharah, Hussein tumbuh menjadi pemuda yang tak hanya cerdas, tapi juga berhati besar, siap menapaki jalan panjang menuju masa depan yang lebih baik.
Jejak Langkah Hussein Badjerei: Menapak di Antara Sejarah dan Revolusi
Ketika rapat Ikada berlangsung, Hussein Badjerei baru menginjak usia dua belas tahun. Bersama teman-temannya, dia berhasil menyelinap melalui kerumunan massa, mendekati podium tempat Bung Karno berdiri, berbicara selama kurang lebih lima menit. Dalam buku otobiografinya, Hussein mengenang momen itu. Di tanah lapang Gambir, Bung Karno datang bukan untuk membakar semangat rakyat dengan pidato panjang seperti yang banyak tercatat dalam buku sejarah proklamasi, tetapi hanya untuk menenangkan massa dan membubarkan Rapat Raksasa tersebut dengan kata-kata singkat yang penuh makna.
Revolusi adalah masa penuh ketidakpastian, saat Jepang menyerbu dan agresor Sekutu serta Belanda melancarkan serangan mereka. Keluarga Hussein Badjerei terpaksa berpindah-pindah, diboyong oleh sang ayah dari satu tempat ke tempat lain, mencari perlindungan dari bom yang berjatuhan dan mengancam rumah-rumah penduduk. Konflik bersenjata antara pemuda rakyat dan NICA di Petojo memaksa mereka keluar dari Jakarta, menghindari marabahaya yang terus menghantui.
Sekolah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet tak luput dari pendudukan, diambil paksa oleh tentara Belanda saat agresi kedua. Bangunan yang megah itu, selama puluhan tahun, diduduki dan dihuni oleh eks tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) dari golongan "londo ireng." Aset berharga itu akhirnya lenyap, digantikan dengan lahan di daerah Kayu Manis Bogor, yang luasnya kian menyusut karena dijual sebagian oleh Yayasan Dana Bantuan Perguruan-Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Yayasan ini, tanpa disadari, meniru perilaku tentara KNIL, mengambil alih aset yang dulunya milik Irsyadi di Betawi.
Gedung sekolah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet adalah saksi bisu sejarah. Bangunan bersejarah ini, yang sebelumnya merupakan aset Yayasan Al-Irsyad Jakarta, kini hanya tinggal kenangan. Dalam pusaran waktu yang terus berputar, sejarah mencatat kisah pilu dan perjuangan tanpa henti, di mana setiap sudut bangunan itu menyimpan cerita tentang harapan dan pengorbanan.
Selama gedung sekolah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet berada dalam cengkeraman NICA dan anteknya KNIL, aktivitas pembelajaran terhenti seketika. Abdullah, sang ayah, mengungsikan Hussein ke Cianjur, namun tak lama mereka kembali ke Jakarta atas permintaan neneknya, Mak Pise, dan kakaknya, Salha, yang tetap bertahan di kota tersebut. Ketika situasi mulai membaik, sekolah Al-Irsyad kembali membuka pintunya, dan meski tertunda, Hussein akhirnya lulus dari sekolah dasar pada tahun 1949, saat usianya sudah mencapai enam belas tahun.
Pada masa agresi kedua Belanda, sekolah Al-Irsyad di Jakarta, yang Majelis Pendidikannya dipimpin oleh Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja, memilih sikap tidak kooperatif, menolak bekerjasama dengan Pemerintah Pendudukan Belanda. Namun, dalam keterbatasan yang ada, kegiatan kependidikan tetap dijalankan. Ujian akhir dipersiapkan dengan bantuan guru-guru dari kalangan "republiken," yang menyusun bahan materi ujian secara sederhana, menulisnya tangan di buku tulis, kemudian disalin bergiliran oleh para siswa. Pengawas ujian, Bapak H. Dahlan Abdullah, yang kelak menjadi Duta Besar pertama RI di Irak, mengawal proses tersebut dengan penuh dedikasi. Dahlan Abdullah, pejuang kemerdekaan asal Pariaman, Sumatera Barat, pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Pemerintahan Kota Jakarta bersama Raden Suwirjo pada masa peralihan kekuasaan antara pendudukan Jepang dan Pemerintah Indonesia, dari 7 September hingga 23 September 1945.
Setelah dinyatakan lulus dari SD Al-Irsyad, Hussein, yang sempat tertinggal akibat masa revolusi, mengikuti ujian kedua di Al-Irsyad. Berkat usaha Bapak Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirya, ia berhasil mendaftar dan diterima di SMP PMIK, sebuah sekolah yang dianggap partikelir oleh Belanda, namun diakui sebagai sekolah negeri oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sekolah tersebut terletak di bangunan darurat di antara rumah-rumah penduduk di Jalan Kaji dan Petojo Enclek. Karena keterbatasan sarana, para siswa, termasuk Hussein, harus membawa bangku sendiri dari rumah. Di sekolah itu, Hussein bersahabat dengan Ciam Sun Tiauw, satu-satunya anak Tionghoa di sekolah tersebut. Persahabatan mereka erat, bagaikan keluarga, meski berbeda agama dan etnis.
Setelah kedaulatan RI pulih pada Desember 1949, sekolah darurat yang "melarat" itu dipindahkan ke Jalan Budi Utomo No.3. PMIK, yang singkatannya tak diketahui pasti, dikenal sebagai sekolah Federal. Sejak saat itu, hari-hari Hussein Badjerei hingga enam tahun berikutnya, hingga masa SMA, dihabiskannya di sepanjang Jalan Budi Utomo, yang pada zaman Belanda dinamakan Vrijmetselaarsweg. Oleh pemerintah, nama SMP PMIK kemudian diubah menjadi SMP II.
Di Balik Surya Kancha: Awal Petualangan Hussein Badjerei
Di SMP II, petualangan Hussein Badjerei sebagai seorang aktivis mulai bersemi. Ditunjuk sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) ranting SMP II, ia segera menancapkan namanya dalam dunia pergerakan. Bersama Mahbub Djunaidi, saudara sepupunya dari pihak ibu, Rogaya Ba'adil, Hussein mendirikan "Surya Kancha," sebuah organisasi ekstra sekolah yang menitikberatkan kegiatannya pada bidang olahraga.
Sejak duduk di bangku SMP, Hussein sudah menunjukkan bakatnya dalam menulis di Majalah Pemuda Masyarakat yang diterbitkan secara stensil oleh IPPI. Roestam Anwar, seorang senior di IPPI, melihat potensinya dan memberikan dorongan untuk terus menulis. Tak hanya itu, A. Hamid Attamimi SH, yang kelak menjadi Menteri Wakil Sekretaris Kabinet RI, juga menjadi mentor yang setia, memberikan bimbingan serta kenangan berupa karikatur indah karyanya sendiri. Dalam karikatur tersebut, terukir pujian untuk Hussein yang diambil dari syair Arab terkenal, as-Samaw’al.
Pada tahun 1952, Hussein bersama teman-temannya lulus ujian akhir dari SMP II dan melanjutkan pendidikan ke SMA I di Jalan Budi Utomo No. 7. Di sekolah ini, ia duduk satu bangku dengan Mahbub Djunaidi, yang kelak dikenal sebagai sastrawan dan Ketua Umum pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Mahbub, putra H. Djunaidi, seorang tokoh NU dan anggota DPR RI pada pemilu 1955, menjadi sahabat sejati Hussein. Meski berbeda ideologi, persahabatan mereka justru saling melengkapi dalam perjuangan mengisi kemerdekaan melalui berbagai aktivitas kebangsaan, seni, dan politik. Pada Muktamar Al-Irsyad ke-32 di Bogor tahun 1979, di hadapan tokoh-tokoh besar seperti M. Natsir dan M. Roem, Hussein dengan bangga membacakan telegram ucapan dari Mahbub dalam arena sidang pembukaan muktamar.
Masa-masa SMA merupakan periode yang penuh dinamika bagi Hussein. Menjelang ujian akhir, ia semakin aktif dalam pergerakan sebagai kader dan aktivis di Al-Irsyad. Pada Muktamar Al-Irsyad ke-28 di Surabaya tahun 1954, ia merasakan panggilan sejarah untuk pertama kalinya. Dari titik tolak inilah, setiap dzarah darah Irsyadi yang mengalir dalam tubuhnya mulai menggerakkan semangatnya. Sebagai putra dari keluarga Irsyadi 24 karat, terutama dengan sosok ayahnya, Abdullah Agil Badjerei, yang merupakan salah satu generasi pertama Al-Irsyad, keikutsertaannya dalam muktamar tersebut menjadi titik nol dari perjalanan panjang seorang Hussein Badjerei dalam menabur hari di Al-Irsyad.
Arti Sebuah Persaudaraan: Hussein Badjerei dan Siddik Surkati
Keterbatasan ekonomi keluarga memaksa Hussein Badjerei meninggalkan bangku kuliah di Universitas Indonesia setelah hanya satu tahun. Meski al-Ustadz Siddik Surkati, sahabat ayahnya sekaligus "paman ideologinya," menawarkan bantuan untuk menanggung biaya perkuliahannya, Hussein menolaknya dengan halus. Ada alasan khusus di balik penolakannya itu, sebuah prinsip yang dipegang erat oleh Hussein. Selama setahun menjadi mahasiswa, Hussein aktif sebagai aktivis kampus dan menjabat sebagai Ketua Seksi Penerangan Dewan Kesenian Mahasiswa Universitas Indonesia, memperlihatkan bakatnya dalam dunia organisasi dan seni.
Siddik Surkati, keponakan dari tokoh sentral Al-Irsyad, Syaikh Ahmad Surkati, memiliki hubungan yang sangat dekat dengan keluarga Badjerei. Persahabatan antara Siddik dan ayah Hussein, Abdullah, melampaui batas-batas persahabatan biasa. Mereka terikat oleh kesamaan ideologi dan cinta yang mendalam terhadap Al-Irsyad. Ustadz Siddik adalah figur yang mengajarkan Hussein makna persahabatan, cinta, dan saling menghargai. Ia menjadi contoh nyata bagaimana persaudaraan sejati terbentuk dan berkembang.
Salha, kakak kandung Hussein, juga memiliki hubungan erat dengan Ibu Shofiyah Baasir, istri Siddik Surkati. Shofiyah adalah adik kandung Ustadz Muhammad Baasir, seorang tokoh dan ulama terkemuka di Al-Irsyad. Istrinya merupakan keponakan Syaikh Ahmad Surkati, menikah dengan Shofiyah binti Abul Fadhel Sati Surkati, puteri tunggal Ustadz Fadhel Sati Surkati, adik kandung Syaikh Ahmad Surkati. Hubungan ini mempererat jalinan persaudaraan antara keluarga Badjerei dan Surkati, menciptakan ikatan yang kuat dan tak terpisahkan.
Siddik Surkati bukan hanya sahabat ayah Hussein, tetapi juga menjadi mentor dan panutan bagi Hussein sendiri. Persahabatan mereka digambarkan sebagai dua saudara yang tumbuh bersama, saling mendukung, dan saling mempengaruhi dalam setiap langkah kehidupan. Persahabatan antara Abdullah Agil Badjerei dan Siddik Surkati mengajarkan bahwa, keluarga itu tidak selalu harus berhubungan sedarah. Mereka yang hadir dan memberikan makna dalam hidup adalah yang benar-benar peduli dan saling mendukung.
"Persahabatan antara keduanya ibarat roda yang terus berputar, yang membuat lokomotifnya terus berjalan," begitu kiranya perumpamaan yang menggambarkan hubungan Abdullah Agil Badjerei dan Siddik Surkati. Sebuah persahabatan yang tak lekang oleh waktu, memberi inspirasi dan kekuatan bagi generasi berikutnya, termasuk Hussein Badjerei yang terus menapaki jalannya dengan semangat persaudaraan dan kebersamaan.
(BERSAMBUNG)
Bogor, 9 Juli 2023
Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk "Hussein Badjerei: Sang Legenda Al-Irsyad (Bagian 1)"
Posting Komentar