"Rumah Nishat: Sebuah Perjalanan Senja Juhana Satar"
Dengan usia yang tak lagi muda, suara Juwana masih mempesona dengan keanggunan yang memancar dari setiap nadanya. Kualitas yang terjaga dengan baik sepanjang masa menjadikan suaranya begitu merdu dan memikat hati setiap pendengarnya. Dikenal dalam dunia seni tarik suara musik melayu Indonesia dengan nama yang gemerlap, Juhana Satar mengukir prestasi gemilang dalam industri musik. Namanya yang berkibar di panggung seni, bukan hanya sekadar sebuah nama, melainkan seutas benang merah yang menghubungkan antara karya dan dedikasi yang tak terpisahkan. Juwana, yang kini lebih akrab disapa dengan Juhana Satar, menemukan panggilan itu setelah memilih untuk berbagi hidup dengan seorang pria dari negara yang jauh, Pakistan. Abdul Sattar, sosok yang membawa cinta dan warna baru dalam hidupnya, mengukir sejarah baru dalam perjalanan seninya. Ayah dari Abdul Sattar, Abdul Karim Kasim Patel, turut menyemarakkan warna kehidupan Juwana dengan jejak langkahnya yang membawa pengaruh yang mendalam dalam kisah perjalanan musiknya.
Almarhum Abdul Karim Kasim Patel
Juhana Satar kini menempati posisi tak tergantikan sebagai salah satu legenda musik melayu paling senior dan paling dihormati di Indonesia. Dalam jajaran seniman musisi melayu, namanya berdampingan dengan figur-figur ternama seperti Hussein Bawafie, Hussein Aidid, M. Mashabi, Munif Bahasuan, Hasnah Thahar, dan sejumlah besar tokoh lainnya. Meski telah menginjak usia 83 tahun, kebugaran tubuhnya masih mengagumkan, dan dia tetap aktif membawakan lagu-lagu melayu klasik yang pernah mendominasi panggung musik zamannya. Baik ciptaannya sendiri maupun dari karya-karya sesama musisi, Juhana Satar menghidupkan kembali nostalgia dengan lagu-lagu seperti "Sesal dan Derita", "Ditinggal Kekasih", dan "Usah Kau Kenang", yang tetap mengalir dalam beningnya suaranya yang yang seolah tak kenal batas waktu.
Juhana Satar lahir dalam keluarga Betawi sejati, dari Djoenaidi dan Sami, pada 19 Maret 1940, di kawasan Jembatan Lima, sebuah lingkungan kampung tua di Jakarta Barat yang berdekatan dengan Kampung Arab Krukut. Di antara kampung-kampung tersebut, Pekojan juga dikenal sebagai pusat kehidupan Arab di Batavia, tempat lahirnya banyak tokoh ternama, termasuk seniman terkemuka seperti Hussein Aidid dan Hussein Bawafie.
Di Pekojan inilah perkenalannya dengan seni musik melayu dimulai sejak Ia ikut bergabung dengan kumpulan "Orkes Melayu Kenangan" pimpinan Hussein Aidid.
Kiprah gemilang Juhana dalam dunia menyanyi memancarkan pesona yang luar biasa, karena pada usia muda 7 tahun, ia telah mengebrak panggung dengan keberaniannya membawakan lagu-lagu hits karya musisi kenamaan pada zamannya. Bahkan, pada usia sepuluh tahun, Juhana telah mengukir namanya dalam dunia rekaman dengan tembang perdana "Mengapa Ku Tak Tahu", ciptaan Hussein Aidid, yang mengadopsi melodi dari lagu India, "Mera Joota Hai Japani". Lagu yang sama menjadi sorotan saat Juhana mengembangkannya dalam penampilan pertamanya di udara melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta, pada 26 Oktober 1950, bersama Orkes Melayu Kenangan. Juhana menjadi pionir sebagai biduanita melayu pertama yang suaranya diabadikan melalui siaran radio, mengukir sejarah baru dalam alunan musik nusantara berirama melayu yang bergenre "dangdut".
Sebagai seorang musisi yang visioner, Hussein Aidid terkenal karena perannya dalam mengalihkan bentuk seni musik peranakan Arab dari tradisi Gambus menjadi Orkes Melayu yang lebih dinamis. Dengan menggabungkan elemen-elemen tradisional seperti "Oud" (gambus) dengan instrumen modern seperti biola, accordion, gitar bas, gendang, tamborin, marakas, serta alat musik lainnya seperti trompet, klarinet, saksofon, dan piano, Aidid menciptakan paduan suara yang mempesona dan inovatif. Hussein bin Alwi Aidid, lahir pada tahun 1913 di kampung Arab Pekojan ketika Jakarta masih dikenal sebagai Batavia, telah meninggalkan warisan seni yang tak terlupakan ketika ia berpulang pada 19 September 1965. Awalnya memimpin Orkes Gambus "al-Usysyaaq" sejak tahun 1947, Aidid kemudian mengubah arahnya dengan membentuk Orkes Melayu Kenangan pada tahun 1950, menandai langkah penting dalam evolusi musik Melayu di tanah air.
Foto Musisi Legendaris Orkes Melayu
(Jas Hitam Alm Hussein Bawafie)
Bersama "O.M. Kenangan", Juhana sering kali memukau penonton dengan penampilan yang mengesankan. Namun, tak hanya itu, ia juga sering berkolaborasi dengan orkes-orkes Melayu terkemuka lainnya pada zamannya. Di antara mereka, terdapat nama-nama seperti O.M. Pantjaran Djiwa, O.M. Siguntang, O.M. Kelana Ria, dan O.M. Chandralela. Khususnya, perkumpulan musik terakhir, O.M. Chandralela, berhasil meninggalkan jejak yang tak terlupakan melalui lagu "Kecewa" yang diciptakan oleh sang pendiri dan pemimpin orkes, H. Hussein Bawafie. Lagu ini, dengan keindahan melodi dan liriknya, berhasil meraih popularitas luar biasa. Bahkan, saat dirilis oleh penyanyi asal Indramayu, Iis Dahlia, dalam genre dangdut pop, lagu "Kecewa" membawa nama Iis Dahlia ke puncak kejayaan, menjadikannya sebagai Penyanyi Dangdut Wanita Terbaik pada tahun 1997.
Melalui kolaborasi dengan Orkes Musik Chandralela, banyak pencipta musik melayu yang berhasil meraih kepopuleran setelah lagu-lagu ciptaannya dinyanyikan oleh Juhana Satar. Di antara mereka, Mansyur S adalah salah satu contoh yang kini telah meraih kesuksesan sebagai salah satu artis Dangdut papan atas di Indonesia.
Juhana Satar dikenal sebagai penyanyi orkes melayu dengan suara yang khas, di mana lagu-lagu yang diciptakan khusus untuknya diselaraskan dengan sempurna dengan gaya vokal yang unik yang dimilikinya. Keistimewaan ini membuat lagu-lagu yang dilantunkan oleh Juhana Satar sulit untuk ditandingi atau ditiru. Seiring dengan perubahan zaman, orkes melayu telah berevolusi menjadi genre "Dangdut", namun warisan suara emas Juhana Satar tetap menjadi tonggak penting dalam perkembangan dan pertumbuhan musik Dangdut di Indonesia. Kontribusinya bukan hanya memperkaya warisan musik tanah air, tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Indonesia. Oleh karena itu, apresiasi yang layak diberikan kepada Juhana Satar tidak hanya dari segi pemerintah, tetapi juga dari seluruh pecinta seni musik Dangdut yang telah menjadikan genre ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia.
Ribuan piringan hitam dan kaset yang memuat lagu-lagu indah Juhana Satar telah tersebar luas di seluruh pelosok tanah air, menyapa jutaan telinga anak bangsa yang meresapinya dengan syahdu. Khususnya, generasi tahun 60-an dan 70-an, yang muncul dari beragam lapisan masyarakat, menemukan dalam melodi dan liriknya yang fenomenal sebuah magnet yang tak terelakkan. Salah satu momen bersejarah dalam kariernya adalah kolaborasinya dalam satu album bersama M. Mashabi, menyatukan keindahan suara mereka dalam sebuah karya yang menggugah jiwa. Di antara jutaan penggemar yang tak terhitung jumlahnya, terdapat nama-nama besar, seperti Prof. Mahfud MD, yang kini menajdi salah satu paslon wakil presiden Republik Indonesia. Kesetiaan mereka terhadap warisan musik Juhana Satar menjadi bukti akan keabadian dan ketenaran suara emasnya yang tak terlupakan.
Selain menjelma sebagai seorang penyanyi yang memikat, Juhana Satar juga menapaki jejaknya dalam dunia perfilman Indonesia dengan kepiawaian yang sama. Di era kejayaan Tangkiwood, yang merupakan versi Jakarta dari Hollywood zaman dulu, Juhana Satar mengukir cerita melalui panggung-panggung teater musikal yang memukau, sering kali berbagi pentas dan peran dengan para seniman papan atas, termasuk legenda seperti Tan Tjeng Bok. Di sisi layar lebar, namanya bersinar dalam film-film bersama para bintang terkemuka pada masanya, seperti Laela Sari, Hamid Arif, Citra Dewi, Aminah Cendrakasih, Bing Slamet, Wolly Sutinah (Mak Wok), dan banyak lagi ikon seni lainnya. Keterlibatannya dalam seni perfilman tidak hanya menghiasi layar, tetapi juga menambah warna dalam panorama kebudayaan Indonesia, memperkaya warisan seni yang abadi bagi generasi masa kini dan mendatang.
Dari yang dikisahkan umi Juhana pada penulis di kediamannya, ia mengungkapkan bahwa suaminya awalnya kurang mendukung keputusannya untuk meniti karir sebagai penyanyi. Hal ini menjadikan langkahnya dalam dunia seni tarik suara tidaklah mudah, dengan perjalanan yang tak secepat kilat untuk memperoleh pengakuan yang pantas. Bahkan, ia tidak diperkenankan untuk diliput oleh media, menambah hambatan dalam perjalanannya. Namun, Juhana terus tampil di atas panggung dengan panggilan jiwa yang kuat, mendedikasikan dirinya sebagai seorang pelayan seni yang idealis. Baginya, panggung adalah panggilan hati, bukan sekadar ajang pencarian popularitas atau sekedar mengumpulkan pundi-pundi darinya bernyanyi. Ia membawa suara dan pesan dengan tujuan yang lebih mulia, sebagai seorang seniman sejati yang menapaki jalan dengan integritas dan kesetiaan terhadap seni.
Juhana Satar bersama penulis
Di puncak yang sejuk, musisi senior Indonesia yang disegani kini menikmati masa senjanya di rumah asri di desa Tugu, Cisarua Bogor. Dinding-dinding rumahnya dipenuhi dengan foto-foto masa muda dan potret keluarga yang menciptakan aura kehangatan dan kenangan. Sejak pernikahannya dengan Abdul Sattar, Juhana telah diberkati dengan tiga anak, dua puteri dan seorang putera, serta diberkahi dengan cucu dan cicit. Sejak tahun 1989, dia telah menetap di "Pasanggrahan" yang ia beli dan miliki sejak tahun 1967. Di teras rumahnya yang klasik, terukir nama "Nishat" yang dipilih dengan penuh makna dari bahasa India, sebagai penghormatan kepada suami tercintanya, Satar, sosok Indonesia keturunan Pakistan yang terus hidup dalam ingatannya. Di antara kehangatan keluarga dan keindahan alam, Juhana Satar menemukan kedamaian dalam pelukan rumahnya, di mana kenangan-kenangan indah dan cinta abadi menjadi jalinan yang tak pernah putus.
Bogor, 21 Febuari 2024, sebuah tulisan lama dari hasil wawancara langsung dengan Umi Juhana di kediamannya pada 25 Juli 2023.
Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk ""Rumah Nishat: Sebuah Perjalanan Senja Juhana Satar""
Posting Komentar