"Jejak Legendaris Munif Bahasuan: Musisi dan Penyanyi Dangdut yang Abadi"
Judul lagu "Ya Mustafa", atau dieja juga sebagai "Ya Mustapha", adalah sebuah karya musik Arab yang berakar dari Mesir, yang telah mengukir namanya di panggung dunia. Diciptakan oleh komponis Arab terkenal, Mohammed Fawzi, lagu ini menjadi salah satu yang paling ikonik dalam repertoar musik Arab. Keindahan melodi yang digubah dengan cermat oleh Fawzi dan lirik yang puitis telah membuat lagu ini menjadi favorit bagi banyak pendengar di seluruh dunia.
"Ya Mustafa" tidak hanya menjadi sekadar lagu, tetapi juga merupakan bagian dari sejarah perfilman Mesir. Lagu ini diabadikan dalam film "el-Hub Kedza", sebuah karya sinematik yang disutradarai oleh Mahmoud Zulfikar pada tahun 1961. Melalui kekuatan musiknya yang mendalam dan pesan universalnya, lagu ini terus menginspirasi dan menyatukan orang dari berbagai latar belakang budaya dan bahasa, dan menjadi sebuah karya seni yang abadi.
Di Indonesia, tanpa mengubah judul dan liriknya, "Ya Mustafa" mendapat aransemen baru hasil karya musisi Melayu Indonesia terkenal, Munif Bahasuan. Lagu ini menjadi salah satu lagu unggulan dalam albumnya yang meraih popularitas tinggi di tanah air pada tahun 1960-an. Aransemen Munif Bahasuan, meski tetap mempertahankan lirik dan irama aslinya, membawa nuansa segar dan khas Indonesia ke dalam lagu yang sudah mendunia tersebut, menambah kekayaan khazanah pada musik di Indonesia.
Seiring dengan popularitasnya yang meroket, "Ya Mustafa" bahkan dijadikan sebagai lagu pembuka setiap kali film diputar di bioskop-bioskop di seluruh tanah air. Kehadirannya sebagai lagu pembuka tidak hanya menambah nuansa kehangatan dan semangat, tetapi juga menciptakan ikatan emosional antara penonton dengan karya-karya film yang mereka saksikan.
Munif Bahasuan, seorang tokoh musisi orkes Melayu yang berperan penting dalam memoderasi musik semenanjung Melayu menjadi musik dangdut yang kita kenal saat ini, lahir di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1935. Karirnya yang panjang dan berpengaruh dalam dunia seni musik dimulai pada tahun 1954, ketika dia memulai debutnya sebagai seorang vokalis dalam Orkes Gambus Al-Wardah di bawah pimpinan Muchtar Lutfi. Namun, perjalanan kariernya yang gemilang tidak berhenti di sana.
Dalam waktu yang relatif singkat setelah bergabung dengan Orkes Gambus Al-Wardah, Munif Bahasuan menemukan panggilannya sebagai penyanyi lagu-lagu Melayu dalam iringan Orkes Melayu Sinar Medan yang dipimpin oleh Fauzi Aseran. Keanggunan suaranya dan keahliannya dalam membawakan lagu-lagu Melayu membuatnya cepat dikenal dan dihormati dalam industri musik Melayu pada masa itu.
Kontribusi Munif Bahasuan tidak hanya terbatas pada kemampuannya sebagai seorang penyanyi, tetapi juga dalam peranannya sebagai pencipta lagu dan komponis. Dia adalah salah satu dari sedikit tokoh yang membawa sentuhan baru dalam genre musik Melayu, menghadirkan elemen-elemen modern yang segar tanpa kehilangan keaslian dan keindahan tradisionalnya.
Di dekade yang sama, dua tahun setelah Munif bergabung dengan O.M Sinar Medan, langkahnya membawanya bergabung dengan dapur rekaman Orkes Musik Sinar Kemala di bawah pimpinan A. Kadir. Dalam waktu singkat, karirnya dalam musik Melayu berkembang pesat seperti meteor. Lima tahun setelah memulai perjalanan seninya, tepatnya pada tahun 1959, bersama Adikarso, Munif mendirikan kelompok orkesnya sendiri yang diberi nama O.M. Kelana Ria.
Keberhasilan Munif Bahasuan dalam industri musik Melayu tidaklah terlepas dari dedikasi dan bakatnya yang luar biasa. Bergabung dengan Orkes Musik Sinar Kemala merupakan tonggak penting dalam kariernya, di mana ia dapat menunjukkan kemampuan musiknya di tingkat yang lebih profesional. Di bawah kepemimpinan A. Kadir, ia tidak hanya belajar dari para senior tetapi juga memiliki kesempatan untuk menunjukkan bakatnya secara luas.
Namun, keinginan Munif untuk mencapai lebih banyak pencapaian membawanya untuk berkolaborasi dengan Adikarso dalam mendirikan grup orkes mereka sendiri. O.M. Kelana Ria menjadi wadah bagi kreativitas dan visi mereka dalam membawa musik Melayu ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan keberanian dan semangat juang, mereka membangun sebuah identitas musik yang unik dan menarik perhatian publik dalam waktu yang relatif singkat.
Kisah perjalanan Munif Bahasuan adalah cerminan dari semangat pantang menyerah dan ketekunan dalam mengejar cita-cita. Melalui perjuangan dan kerja kerasnya, ia tidak hanya mencapai kesuksesan pribadi tetapi juga memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan musik Melayu secara keseluruhan.
Di antara para penyanyi utama yang menjadi bagian dari O.M. Kelana Ria dan kemudian mengukir namanya sendiri dalam dunia musik adalah Eliya Khadam, M. Mashadi, dan M. Lutfi. Mereka bukan hanya sekadar vokalis dalam kelompok orkes tersebut, tetapi juga merupakan sosok yang membawa warna. Ketiga penyanyi ini, Eliya Khadam, M. Mashadi, dan M. Lutfi, merupakan tulang punggung dari O.M. Kelana Ria dan telah memberikan kontribusi yang besar dalam membawa musik Melayu ke puncak kesuksesan.
Pada tahun yang sama, Munif Bahasuan tidak hanya mencatat namanya dalam dunia musik Melayu, tetapi juga memasuki ranah musik non-Melayu dan Gambus. Langkahnya membawanya menjadi bagian dari Club Band Nada Irama di bawah pimpinan Jack Lesmana. Debutnya sebagai pemain dan penyanyi dalam band tersebut membuka pintu menuju pengakuan lebih luas dalam industri musik.
Perjalanan karirnya semakin bersinar ketika Munif bergabung sebagai vokalis dalam Club Band di Hotel Indonesia yang dipimpin oleh Nick Mamahit. Di sini, bakat vokalnya semakin terasah dan diakui, menjadikannya sorotan utama di panggung-panggung musik. Keahliannya dalam mengolah vokal dengan penuh emosi dan kekuatan membawa penonton pada perjalanan musik yang mendalam dan memikat.
Namun, popularitas Munif tidak berhenti di situ. Kemampuannya yang luar biasa dalam berkolaborasi dengan berbagai genre musik membawanya untuk bergabung dengan klub Band dan jazz terkemuka di Ibukota. Salah satunya adalah Jazz Riders yang dipimpin oleh Bil Saragih, di mana Munif berhasil menyelami nuansa jazz dengan penuh dedikasi dan semangat.
Selain itu, keikutsertaannya dalam Jazzanova yang dipimpin oleh Sadikin Zuchra semakin memperkaya perjalanan musiknya. Bersama-sama dengan para musisi berbakat lainnya, Munif membawa warna baru dalam peta musik jazz Indonesia. Dedikasinya untuk terus berkembang dan mengeksplorasi berbagai genre musik menjadikannya salah satu figur yang dihormati dan diakui dalam dunia musik tanah air.
Salah satu momen puncak dalam perjalanan karirnya adalah ketika Munif Bahasuan turut dipercaya menjadi duta seni yang mewakili Indonesia bersama Band The Lensiots. Grup band ini tak sekadar hasil dari inspirasi musik semata, melainkan juga merupakan inisiatif kolaboratif antara pemerintah saat itu dengan para musisi terkemuka yang bertujuan memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia ke dunia internasional. Keanggotaan dalam The Lensiots melibatkan sejumlah musisi kenamaan Indonesia seperti Bing Slamet, Idris Sardi, Titiek Puspa, Nien Lesmana, Jack Lesmana, dan banyak lagi.
Perjalanan tur The Lensiots ke Eropa dan Amerika Serikat bersama Sang Presiden, bukan saja sekedar ikut menjadi bagian dalam mendemonstrakikan kekayaan khazanah musik yang indah, Munif Bahasuan telah ikut mengukir jejak yang tak terlupakan dalam sejarah musik Indonesia.
Dalam suatu kesempatan di Bogor, penulis beruntung dapat mendengar cerita langsung dari Munif Bahasuan, yang kebanggaan dan cinta nasionalismenya terhadap Indonesia tak diragukan lagi.
Ketika Munif Bahasuan mempersembahkan kepiawiannya yang memukau saat bernyanyi dan memainkan alat petik gambus di panggung Timur Tengah, dimana kemudian publik Arab terpesona dengan melodi gambus yang ia mainkan di Irak dan Yaman, oleh reporter televisi Yaman di kota Aden saat diwawancara, Munif menegaskan identitasnya sebagai seorang Indonesianis sejati. Meskipun namanya oleh reporter itu disinggung yang mengisyaratkan asalnya adalah Hadramaut dan keahlian bahasa Arabnya yang luar biasa, tapi Munif menegaskan kembali bahwa jiwa dan identitasnya merupakan seorang Indonesianis sejati. Meskipun darah Arab mengalir dari ayahnya, tapi ia merasa lebih terikat dengan tempat kelahirannya. Adapun jiwa yang dimilikinya itu, Munif pun mengakui berkat pendidikan yang ia tempuh selama bersekolah di perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah - Batavia, didirikan oleh Syaikh Ahmad Surkati - 1914, termasuk kemampuannya dalam berbahasa Arab dengan baik dan fasih.
Menurut kutipan dari laman resmi rumah musik Denny Sakrie, dalam sebuah wawancara dengan Munif, sang ayah yang memiliki pabrik ubin teraso tidak menyetujui anaknya terlibat dalam dunia musik. Namun, cinta dan dedikasi Munif terhadap musik telah mengakar kuat dalam dirinya. Terlepas dari larangan keras orang tuanya, Munif tidak dapat menahan diri untuk tidak terlibat dalam musik. Ia terpaksa mengabaikan keinginan sang ayah dan melakukan segala cara untuk mengejar passion-nya. Dengan berbagai upaya, seperti bermain musik secara diam-diam dan menitipkan setelan jasnya kepada sahabat setelah tampil di Hotel des Indes di tengah malam, Munif mencoba keras untuk menjalani impian musiknya tanpa diketahui sang ayah.
Abdullah Ayah Munif lahir di Hadramaut. Pada usia 12 tahun, sekitar tahun 1901, ia berangkat ke Batavia bersama orang tuanya untuk berdagang rempah-rempah. Ibunya berasal dari Gresik, Jawa Timur. Keluarga Munif terkenal sebagai keluarga yang mapan secara ekonomi. Saudara perempuannya memiliki keahlian dalam memainkan piano dengan karya-karya Mozart dan Beethoven, mencerminkan selera musik kalangan elit Eropa pada masa itu. Namun, Munif lebih tertarik pada musik leluhurnya. Ia sering tampil di pesta pernikahan dalam komunitas keturunan Arab, menyumbangkan suara sambil bermain gambus.
Pada tahun 70-an,Munif sempat mendirikan kembali sebuah Orkes Melayu dengan nama Kafilah. Lagu-lagu yang dirilisnya itu selain musik berirama melayu modern dengan sedikit sentuhan latin, seperti lagu Bunga Nirwana, juga lagu-lagu beraroma padang pasir, antaranya Ya Mahmud, Ya Gadzibny, Ya Musthafa, kafilah dan Ya Hamidah.
Dikutip dari laman Irama Nusantara, Munif adalah seorang seniman yang karyanya khas dan bervariasi. Pengaruh musik India, Arab, Melayu, dan bahkan Latin dapat terlihat dalam aransemen musiknya. Menurut etnomusikolog Andrew Weintraub, karyanya dianggap sebagai proto-dangdut. Bersama Kelana Ria, beberapa lagunya seperti “Ya Mustafa”, “Ya Mahmud”, “Boneka dari India”, dan “Patah Kasih” memberikan pengaruh besar pada perkembangan musik dangdut di masa mendatang.
Menurut sahabatnya, Bapak Hussein Awab Balweel, Munif sangat peduli terhadap nasib para seniman musik Melayu, termasuk hak hukum para pencipta lagu yang patut didukung untuk memperoleh royalti yang layak. Demi hal tersebut, Munif bersama tokoh seniman lainnya membentuk dan memimpin Lembaga Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia (LAMMI). Pada tahun 1989, LAMMI berubah menjadi PAMMI, yang dipimpin oleh H. Rhoma Irama sampai sekarang. Munif dipercayai sebagai penasehat dalam kepengurusan PAMMI hingga akhir hayatnya.
Menurut laporan dari kanal liputan 6 dalam edisi tanggal 8 Desember 2021, disebutkan bahwa pada tahun 2007, ia diangkat sebagai Ketua Umum Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI), mengambil alih posisi dari musisi Rinto Harahap yang sedang mengalami sakit stroke. Pada saat itu, Munif berusia 71 tahun.
Munif Bahasuan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2021, pada usia 86 tahun. Kehilangannya terjadi pada bulan yang sama dengan bulan kelahirannya, menciptakan kesan yang mendalam. Pemakamannya dilangsungkan di kompleks pemakaman wakaf warga keturunan Arab di Empang Bogor, ditempat yang sama dengan makam istri tercintanya Fatmah Abdul Kadir Al-Wahdi yang telah lebih dulu meninggal dunia pada 24 Agustus 2020, sebuah pertanda keabadian cinta dan kesetiaan yang terus mengikat keduanya bahkan setelah kehidupan keduanya berakhir.
Allahyarham Munif Abdullah Bahasuan dikenal sebagai pencipta sejumlah lagu Melayu dan Dangdut yang legendaris, yang tetap dihargai dan dinikmati sepanjang masa. Salah satunya adalah "Rekayasa Cinta", yang dipopulerkan oleh Camelia Malik dan bahkan meraih penghargaan Piala Anugerah Dangdut TPI pada tahun 2002. Selain itu, karya-karya lainnya seperti "Bunga Nirwana", "Ditinggal Kekasih", "Pantun Dahulu", "Pantun Asmara", "Suara Seniman", "Halimun Malam (Cendrawasih)", serta sejumlah karya lainnya juga telah menjadi bagian dari warisan musik yang tak terlupakan.
Melalui warisan musiknya yang tak terlupakan, Allahyarham Munif Bahasuan telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam industri musik Indonesia, terutama dalam genre dangdut. Karya-karyanya yang legendaris terus menginspirasi dan menghibur generasi demi generasi. Dengan penuh penghargaan dan apresiasi, kita merenungkan kontribusinya yang luar biasa dalam memperkaya budaya musik Indonesia. Munif Bahasuan tidak hanya merupakan seorang tokoh dangdut, tetapi juga sebuah ikon yang akan selalu diingat dan dihormati dalam sejarah musik Indonesia.
Bogor, 25 Febuari 2024, Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk ""Jejak Legendaris Munif Bahasuan: Musisi dan Penyanyi Dangdut yang Abadi""
Posting Komentar