Roemah Galoeh di Empang: Jejak Perjuangan dan Seni Sang Pejuang
Roemah Galoeh
Menurut keterangan dari Raden Grassadiwaty Koesoemapradja (putri ke-5) dan Raden Pradini Gahrawati (cucu), yang keduanya merupakan narasumber utama penulis, Raden Ahmad Gahrab Koesoemapradja, yang akrab dipanggil Pak Galuh, adalah sosok pejuang dengan jejak panjang dalam sejarah Indonesia. Lahir di Cirebon pada 16 Desember 1910, ia merupakan putra asli tanah pasundan yang sejak usia muda sudah menunjukkan bakat dan keteguhan hatinya untuk bangsa dan tanah airnya. Pak Galuh dikenal tidak hanya sebagai pejuang, tetapi juga sebagai seorang seniman dan tokoh yang peduli pada pendidikan serta kemanusiaan.
Asal Usul dan Pendidikan
Pak Galuh dilahirkan dalam lingkungan yang sarat dengan tradisi dan adat istiadat yang kuat. Sejak kecil, ia sudah ditempa dengan pendidikan yang ketat, dimulai dari HIS (Hollandsch-Inlandsche School), sebuah sekolah dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pendidikan formalnya berlanjut ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setara dengan pendidikan menengah pertama, di mana ia mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang akan menjadi fondasi perjuangannya di masa depan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, sekitar tahun 1929, Pak Galuh meninggalkan kota kelahirannya, Cirebon, dan menetap di kampung Arab, Empang di Bogor. Di sini, ia diangkat menjadi anak oleh Sayyid Abdullah bin Muhsin Alattas, seorang tokoh terpandang yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Pertemuan dan hubungan ini tidak hanya membentuk kehidupan sosialnya, tetapi juga memperluas wawasan dan pemahaman Pak Galuh tentang pergerakan dan perjuangan.
Perjuangan Melawan Penjajah
Dalam masa-masa genting perjuangan kemerdekaan Indonesia, Pak Galuh menunjukkan dedikasi luar biasa. Ia terjun langsung ke medan pertempuran sebagai seorang komandan gerilya melawan penjajah Belanda. Keberaniannya dalam memimpin pasukan gerilya membuatnya menjadi salah satu sosok yang dihormati di kalangan pejuang kemerdekaan.
Sebagai seorang perintis kemerdekaan, Pak Galuh turut serta dalam perjuangan gerilya melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Selama masa revolusi kemerdekaan, ketika tentara Sekutu yang diboncengi oleh Belanda menduduki tanah air, beliau mengalami penangkapan dan dipenjarakan oleh tentara Inggris.
Pasukan Inggris tiba di Indonesia pada September 1945 sebagai wakil Sekutu dengan tujuan utama mengurus tawanan perang Jepang dan Belanda. Namun, karena keterlibatan mereka dalam upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, pasukan Inggris terpaksa menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Indonesia yang bertekad mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Keberanian dan pengabdiannya tidak berhenti di medan tempur saja. Rumahnya sendiri, yang terletak di Jalan Lolongok No 38, Kota Bogor, menjadi tempat perlindungan dan persembunyian senjata bagi para pejuang. Dedikasinya ini kemudian diakui oleh negara, di mana ia dianugerahi piagam penghargaan dari Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) dan dianugerahi pangkat Letnan Dua sebagai tanda penghormatan atas jasanya.
Foto koleksi keluarga Galoeh
Peran di Dunia Seni dan Warisan Budaya
Setelah masa perjuangan fisik selesai, Pak Galuh tidak lantas berhenti berkontribusi untuk bangsa. Ia menyalurkan bakat seni yang dimilikinya sejak muda dengan mendirikan rumah SENI PAHAT GALOEH di Bogor. Karya-karyanya dikenal memiliki nilai estetika yang tinggi, tidak hanya di lingkup lokal tetapi juga mendapat pengakuan di kancah nasional.
Nama "Galoeh" yang disematkan dalam rumah seninya bukanlah tanpa alasan. Nama ini dipilih karena keluarganya masih memiliki ikatan kerabat dengan Keraton Kasepuhan Cirebon, sebuah bukti bahwa darah biru kebangsawanan mengalir dalam dirinya. Salah satu karya monumentalnya adalah Tugu Siguntang yang berdiri megah di Taman Makam Pahlawan Palembang pada tahun 1952. Tugu ini dibangun dengan bantuan para seniman pahat batu dari Palimanan, Cirebon, sebuah kolaborasi yang menunjukkan kekuatan seni tradisional dalam mengabadikan sejarah.
Karya seni pahat Raden Ahmad Gahrab Koesoemapradja, yang dikenal dengan nama Galoeh, juga dapat ditemukan di Istana Bogor. Salah satu contoh yang menonjol adalah pahatannya yang mengangkat motif bunga teratai,
Seni pahatan Galoeh, juga dapat kita jumpai di kediaman Ibu Fatmawati, istri Presiden Sukarno. Bahkan menurut keterangan Raden Grassadiwaty Koesoemapradja, ornamen yang ada di kediamannya dulu sama persis dengan yang dibuat oleh Galoeh di rumah bersejarah milik Ibu Fatmawati Sukarno.
Bangunan rumah milik Ibu Fatmawati, yang terletak di Jalan Sriwijaya Raya No. 26, Jakarta Selatan, kini telah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya oleh pemerintah. Rumah ini tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga melestarikan karya seni Galoeh yang menambah keindahan dan kekayaan budaya Indonesia.
Selain itu, Galoeh juga terlibat dalam proyek monumental lainnya, di mana karyanya turut menghiasi Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata di Jakarta. Keberadaan karyanya di berbagai lokasi penting ini mencerminkan kontribusinya yang mendalam dalam memperkaya warisan seni dan budaya Indonesia.
Museum Perjoangan di Bogor, yang terletak di Jalan Merdeka No. 57, berdiri megah sebagai saksi bisu perjuangan bangsa. Gedung bersejarah ini dulunya merupakan bekas gudang logistik saat revolusi kemerdekaan, dan kini menjadi simbol patriotisme dan keberanian. Bangunan ini adalah hasil hibah dari Syaikh Umar Bawahab, seorang dermawan yang turut berkontribusi dalam perjuangan bangsa. Ornamen dan relief yang menghiasi museum ini dibuat dengan penuh dedikasi oleh Pak Galuh, seniman yang mengabadikan semangat perjuangan dalam setiap detail karyanya.
Selain museum dan monumen bersejarah lainnya, pada masa kepemimpinan Wali Kota Bogor Drs. H. Suratman (1989-1994), beliau dipercaya untuk ikut merancang desain dan membuat prasasti peresmian Gedung Bale Binarum. Gedung yang pernah menjadi ikon di Jalan Pajajaran, Bogor ini, sempat populer sebagai salah satu pusat kegiatan masyarakat. Partisipasi Drs. H. Suratman dan Galoeh dalam proyek tersebut menambah nilai historis gedung ini, menjadikannya bukan sekadar bangunan, tetapi juga simbol dedikasi beliau terhadap perkembangan dan pembangunan di kota Bogor.
Sayangnya, gedung Bale Binarum, yang pernah menjadi ikon di kota Bogor, kini telah lenyap, rata dengan tanah. Rencana untuk membangun kembali dan mengalihfungsikan gedung tersebut sayangnya terhenti, meninggalkan proyek itu dalam keadaan mangkrak dan terbengkalai hingga saat ini. Kehilangan gedung ini bukan hanya menghapus sebuah bangunan fisik, tetapi juga sepotong warisan budaya dan sejarah yang pernah menjadi bagian penting dari identitas kota Bogor.
Kontribusi dalam Pendidikan dan Kemanusiaan
Selain di bidang seni, Pak Galuh juga dikenal aktif sebagai penasihat di berbagai yayasan pendidikan dan kemanusiaan di Kota Bogor. Ia selalu menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam hidupnya, sebuah prinsip yang diajarkannya kepada kedua putranya dan tujuh putrinya. Sebagai seorang ayah, ia tidak hanya memberikan pendidikan formal kepada anak-anaknya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Pak Galuh wafat pada 28 Agustus 1993 di Bogor, meninggalkan warisan yang kaya akan nilai-nilai perjuangan, seni, dan kemanusiaan. Jejak langkahnya yang penuh dedikasi masih terasa hingga hari ini, dan karyanya dalam berbagai bidang tetap menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia.
Rumah tinggalnya yang indah di Bogor adalah hasil karya arsitek kenamaan F. Silaban, seorang sahabat yang dikenalnya sejak masa bekerja di Istana Bogor sekitar tahun 1953. Rumah ini bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga simbol dari prestasi dan kerja kerasnya selama bertahun-tahun.
"Roemah Galoeh" hingga kini tetap terjaga dan terpelihara dalam kondisi aslinya, menjadi saksi bisu dari perjalanan sejarah yang panjang. Ornamen seni pahat yang menghiasi rumah ini, karya tangan seni Pak Galuh, masih dapat dinikmati dengan keindahan yang utuh, mengingatkan kita pada kejayaan seninya di masa lalu. Seni pahat pada dinding rumahnya menggambarkan keindahan seni khas Cirebon, yaitu motif mega mendung.
Sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian terhadap jasanya, nama Pak Galuh kini diabadikan sebagai nama ruas jalan yang berada di samping rumah bersejarahnya, yang kini pemilik dan penghuninya adalah Ibu Feri Sungkar.
Abdullah Abubakar Batarfie
1 komentar untuk "Roemah Galoeh di Empang: Jejak Perjuangan dan Seni Sang Pejuang"