Tembok Tua Badjened, Saksi Bisu Perjuangan Bangsa

 

Ilustrasi. Foto: Internet

Tembok Tua Badjened: "Dari Kediaman Syaikh Ahmad Said Badjened Hingga Pusat Perakitan Granat di Masa Revolusi"


Kawasan Empang, yang sering disebut sebagai kampung Arab, tidak hanya dikenal dengan keunikan ragam budayanya. Di antara deretan bangunan modern dan hiruk-pikuk warganya yang semakin tak terkendali, tersembunyi fragmen sejarah yang memikat, menyimpan kisah panjang dari masa lalu. Jejak kolonial Belanda masih tegak berdiri dan dapat kita jumpai hingga kini, meski berupa puing yang tersisa, menciptakan lanskap budaya yang kaya dan penuh warna.

Di sepanjang Gang Al-Irsyad, dari arah selatan Masjid Agung Empang yang bersejarah, terdapat tembok yang membentang yang panjangnya kira-kira enam puluh lima langkah kaki orang dewasa. Tembok setinggi kurang lebih enam meter dengan ketebalan empat puluh centi meter itu, adalah sisa bangunan tua bekas kediaman Syaikh Ahmad bin Said Badjened, usianya tembok itu diperkirakan hampir dua abad lamanya.

Syaikh Ahmad bin Said Badjened dikenal sebagai pemuka masyarakat di Empang, yang pernah dipercaya untuk memimpin koloni Arab di masa penjajahan Hindia Belanda. Ia menjabat sebagai Luitenant Hoofd der Arabieren ke-3, 1921 hingga 1929. Jauh sebelumnya, dahulu rumah itu pernah dihuni oleh mertuanya Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Bajened pada awal Abad ke-19, sejak penunjukannya sebagai kepala Kampung Arab, atau wijkenmaster pertama di Empang.

Ada energi tersendiri yang memancar dari tembok-tembok tua ini, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, seolah mengingatkan kita bahwa di setiap sudut Empang, sejarah masih bernafas dan menunggu untuk diceritakan kembali.

Namun, cerita yang terukir di dalam bangunan ini bukan sekadar kisah tentang kediaman seorang kepala koloni Arab, lebih dari itu, dinding tua bekas kediaman mereka, menyimpan gema perjuangan yang tak terhitung nilainya selama masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Di sinilah, di antara batu-batu yang tertanam kokoh, strategi perjuangan digodok, semangat nasionalisme dipupuk, dan tekad untuk meraih kemerdekaan diperkuat.

Tembok tua yang kini tersisa, menjadi monumen bisu dari semangat perlawanan yang tak pernah padam. Ketika Indonesia sedang berada dalam masa-masa sulit menjelang kemerdekaannya, tempat ini menjadi salah satu titik di mana denyut nadi perjuangan terasa kian kuat.

Dalam setiap sudut dan celah bangunan ini, tersimpan kenangan akan masa-masa penuh haru, ketika suara-suara perlawanan bergema, dan semangat kebebasan mengalir deras di antara mereka yang terlibat dalam perjuangan ini. Kisah-kisah itu mungkin tak terdengar keras, namun mereka berbisik dari balik tembok-tembok tua ini, mengisahkan betapa besar pengorbanan yang diberikan demi sebuah bangsa yang merdeka. Masa ketika harapan, perjuangan, dan pengorbanan bergabung dalam satu tujuan mulia—kemerdekaan Indonesia.


Syaikh Ahmad bin Said Badjened
Foto koleksi milik keluarga Al-Wahdy

Berdasarkan tulisan Bapak Taufik Hassunna yang diposting di laman Facebook *Bogor Heritage*, di masa revolusi kemerdekaan, bekas kediaman Syaikh Ahmad Said Badjened pernah menjadi saksi bisu perjuangan bangsa. Dari balik tembok tua yang kokoh itu, tempat tersebut difungsikan sebagai bengkel perakitan senjata granat.

Beberapa pemuda ahli kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor, termasuk Itja dan Marpaung, dengan gagah berani mengambil inisiatif untuk membuat granat tangan. Granat-granat yang mereka rakit kemudian disuplai kepada para pejuang untuk digunakan dalam pertempuran melawan penjajah. Menurut Bapak Taufik, granat tarik hasil rakitan mereka sangatlah mematikan. Ledakannya begitu dahsyat, mampu memecahkan beton cor besi hingga radius sepuluh meter, menjadi senjata yang sangat efektif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Di tengah kekacauan yang melanda Bogor ketika kota itu diduduki oleh tentara Sekutu, situasi semakin genting. Ancaman terus-menerus dari pasukan Sekutu yang dengan kejam memburu para pejuang, telah menaksa mereka untuk memindahkan markas perakitan granat tersebut ke Sukabumi, yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Saleh Norman.

Berdasarkan tulisan Bapak Hendi Jo dalam *Historia* pada edisi 7 April 2018 berjudul "Alat Perang Made In Republik," kebutuhan mendesak akan senjata di era revolusi memicu lahirnya berbagai kreasi revolusioner. Salah satu senjata mematikan yang diproduksi oleh Republik adalah Bom Pipa Besi, yang dibuat di "Pabrik Senjata" Braat Sukabumi di bawah pimpinan Kapten Saleh Norman dan Letnan Satu Djajaatmadja.

Proses pembuatan Bom Pipa Besi ini sangat sederhana namun efektif. Pipa-pipa besi dipotong menjadi beberapa bagian dengan panjang masing-masing 7 cm dan diameter 4 cm. Potongan-potongan pipa ini kemudian diisi dengan paku, pecahan kaca, dan potongan besi lainnya untuk meningkatkan daya ledaknya. Sebagai pemicu ledakan, dipasang semacam pena sederhana, yang membuat bom ini menjadi senjata yang sangat mematikan dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia.



Dalam perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tak jarang kita temukan potongan-potongan kisah heroik yang tersembunyi di balik debu-debu waktu. Salah satunya adalah kisah heroik para pemuda Arab di kawasan Empang, Bogor, yang berhasil menyerbu pasukan Gurkha dengan penuh keberanian. 

Kisah ini tercatat dalam sebuah guntingan koran lama yang penulis peroleh secara digital dari seorang sahabat, Bapak Hamdan Kamal Nugraha. Guntingan ini memberikan informasi yang akurat tentang peristiwa heroik tersebut.

Berita ini bahkan menjadi headline di salah satu surat kabar nasional paling berpengaruh pada masanya, yaitu "Harian Merdeka". Koran tersebut menjadi salah satu organ penting dalam perjuangan bangsa Indonesia, berfungsi sebagai saluran resmi suara rakyat di era Republik Indonesia yang baru lahir.

Dalam edisi No. 67 yang terbit pada tanggal 17 Desember 1945, Harian Merdeka mengangkat berita ini dengan tajuk "Kedjadian² penting selama terjadi pertempoeran² di Bogor hingga tanggal 15 Desember." Dalam laporan tersebut, dijelaskan bahwa pada tanggal 11 Desember 1945, sekelompok pemuda Arab dengan gagah berani melancarkan serangan ke posisi-posisi pasukan Gurkha, pasukan yang terkenal tangguh dan merupakan bagian dari kekuatan militer Inggris. Serangan tersebut berhasil menghancurkan salah satu sarang mitraliur musuh, sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi barisan rakyat yang berjuang.

Berikut adalah isi berita tersebut sebagaimana tertulis dalam bahasa aslinya: "KEDJADIAN² penting selama terjadi pertempoeran² di Bogor hingga tanggal 15 Desember adalah sebagai berikoet: Pada tanggal 11 Desember Pemoeda² Arab melakoekan penjerboean ke tempat-tempat Goerkha, dan berhasil menghantjoerkan seboeah sarang Mitrlajoer. 3 Boeah sarang jang beloem lagi dihantjorerkan, oleh Barisa Ra'jat jang menjerang kemoedian telah dapat dihantjoerkan dengan pakai Granaat."

Berita Harian Merdekan ini telah menjadi bukti nyata betapa besarnya semangat perjuangan yang ada di hati setiap pejuang, termasuk para pemuda Arab di Empang, yang tanpa gentar melawan pasukan asing yang jauh lebih kuat dan terlatih. Kisah mereka adalah bagian dari mosaik besar perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang selamanya akan dikenang sebagai salah satu episode paling heroik dalam sejarah bangsa.

Tentara Sekutu di Empang
Latar belakang kediaman Ahmad bin Said Badjened
Vidio kiriman Bapak Hendi Jo

Meski hanya berlangsung dalam kurun waktu yang relatif singkat, sebuah bangunan bersejarah yang dulunya menjadi kediaman Syaikh Ahmad bin Said Badjened, atau yang lebih dikenal sebagai Syaikh Ahmad bin Said Al-Wahdy, telah menjadi saksi bisu perjuangan heroik yang terjadi selama revolusi fisik. Rumah itu menjadi tempat terjadinya kontak senjata antara pasukan pejuang kemerdekaan Indonesia dan penjajah di wilayah Bogor.

Kini, rumah tua dan megah yang pernah berdiri kokoh di Empang, dengan salah satu bagiannya yang sempat dijadikan Pabrik Tenun Sampurna pada dekade 1950-an, telah sirna. Di atas tanah itu kini berdiri Rumah Sakit UMMI, tanpa meninggalkan jejak kemegahan dan kejayaan masa lalu dari rumah keluarga Al-Wahdy. Setiap lekuk bangunan, setiap ornamen artistik bergaya indis yang pernah menghiasi rumah tersebut, telah lenyap, dirobohkan dan diratakan dengan tanah demi pembangunan rumah sakit. Yang tersisa hanyalah sepenggal tembok, bekas dinding pagar yang masih berdiri kokoh, menjadi satu-satunya saksi bisu dari masa kejayaan yang telah berlalu.

Bogor, 15 Agustus 2024
Abdullah Abubakar Batarfie



Posting Komentar untuk "Tembok Tua Badjened, Saksi Bisu Perjuangan Bangsa"