Belanggur di Nyamplungan: Sebuah Renungan atas Karya Yusuf Achmad

 

Membaca bait demi bait dari Belanggur di Nyamplungan, sehimpun puisi karya saudaraku Yusuf Achmad, ibarat membuka pintu gerbang menuju lorong waktu yang tak kasat mata. Setiap larik kata menuntunku jauh, melintasi batas nyata dan khayal, mengajak jiwa ini berziarah ke sebuah kampung yang penuh warna, cerita, dan tradisi, yang bersembunyi di sudut kota bersejarah: Surabaya. Kota yang pernah kulalui dengan sekilas pandang, namun tak pernah kuduga Nyamplungan bisa hidup dalam imaji begitu nyata, hingga aku terseret dalam gelombang puisi-puisi yang membentuk kampung itu seakan menjadi rumah keduaku, meski hanya lewat aksara.

Dentuman Belanggur di bulan agung Ramadhan, terdengar aneh di telingaku pada awalnya. Dalam bahasaku di tatar Sunda, ia adalah Bedil Lodong, tapi kini, Belanggur itu berdentum dari balik menara Masjid Ampel. Gaungnya menghantam sanubari, seakan masa kecilku juga terselip di antara gema adzan dan langkah-langkah mukimin yang sibuk di jalanan sempit kampung itu. Yusuf Achmad dengan piawai membangunkan kisah Belanggur dari tidur panjangnya, menjadikannya lebih dari sekadar suara; ia adalah nyawa yang berhembus di antara bait-bait puisinya.



Sampul buku berwarna merah delima, serupa darah yang mengalirkan kehidupan, membungkus rangkaian puisi ini dengan sentuhan yang tak bisa diabaikan. Dalam tangan, buku ini terasa hangat, seakan menyimpan kenangan dan emosi yang siap meledak dari setiap halamannya. Aku larut dalam setiap puisi, membacanya dengan hati yang terbuka, tanpa jeda. Dari tujuh puluh tujuh judul yang ada, empat di antaranya begitu membekas di hati: Akhir Penantian, Duhai Umi, Puisi dan Jidahku, serta Ya Hayyu Ya Qoyyum. Bukan sekadar kata yang kubaca, tapi ada roh di balik kalimat-kalimat itu, seakan Yusuf menuliskan tiap huruf dengan darah hatinya, lalu menyerahkannya padaku untuk kurasakan.

Kata-kata itu bukan sekadar bacaan. Mereka menusuk hati, menorehkan pahatan yang dalam, hingga tanpa kusadari, air mata mengalir. Mereka membangkitkan getaran jiwa yang tak bisa lagi kutahan, seperti air bah yang tak bisa dihadang oleh tanggul duniawi. Ah, puisi ini adalah jembatan menuju ingatan yang jauh, sebuah napas dari masa lalu yang belum pernah aku singgahi, namun terasa begitu akrab.

Belanggur di Nyamplungan menggugah seleraku untuk kembali ke Surabaya, untuk menyusuri jalanan kampung, menelusuri setiap sudut, menyapa para mukimin yang hidup di balik tirai rumah tua. Namun, pada akhirnya aku terjaga dari lamunan ini. Seperti yang digambarkan Yusuf, Nyamplungan kini tak lagi sama, meski jejak-jejak kisah abadi masih terpatri kuat di ingatan, seperti garis peta yang tak pernah pudar.

Meski belum pernah aku menjejakkan kaki di kampung itu, seolah aku telah lama mengenalnya. Begitu pula saudaraku Yusuf Achmad, yang wajahnya belum pernah aku pandang, namun getaran jiwa telah mempertemukan kami dalam kata-kata, dalam setiap bait yang kami tulis. Seakan ada tali tak kasat mata yang menghubungkan kami, berkelindan dalam jejak nasab yang sama, dalam Qabilah al-Batarfie. Semoga suatu saat nanti Allah mempertemukan kami wajhan bi wajhin, untuk merajut silaturrahim yang terlahir dari kedalaman cinta dan kesetiaan pada akar sejarah yang sama.

Bogor, 21 September 2024
Salam Takzim untuk Saudaraku, Mualim Achmad.
Abdullah Abubakar Batarfie


Posting Komentar untuk "Belanggur di Nyamplungan: Sebuah Renungan atas Karya Yusuf Achmad"