"Dari Tanah Baru ke Empang: Jejak Awal Bogor Modern"

sumber foto : Buku Sejarah Bogor - Saleh Danasasmita 1983

Dalam berbagai catatan sejarah, Kerajaan Pajajaran disebutkan pernah menjadikan wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Bogor sebagai pusat kekuasaannya, dengan ibukota yang dinamai Pakuan Pajajaran. Letak ibukota tersebut diperkirakan berada di sekitar kawasan Istana Batutulis saat ini.

Sekitar tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran yang disebabkan oleh serangan pasukan Kesultanan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf. Sultan ini dikenal sebagai tokoh yang berkomitmen kuat dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Penaklukan Pajajaran tidak hanya didorong oleh motif politik, tetapi juga merupakan bagian dari upaya Maulana Yusuf untuk menaklukkan kekuatan-kekuatan yang menolak menerima Islam sebagai agama yang baru berkembang di wilayah tersebut.

Menurut catatan Saleh Danasasmita dalam Sejarah Bogor (1983), pertempuran terakhir antara pasukan Pajajaran dan Banten terjadi di lapangan yang kini dikenal sebagai Alun-alun Empang. Pada masa itu, tempat tersebut dikenal dengan istilah 'palagan', yang berarti medan pertempuran. Pertempuran ini menandai puncak perlawanan Pajajaran untuk mempertahankan kekuasaannya di tengah tekanan yang semakin kuat dari Kesultanan Banten.

Pasca jatuhnya Pakuan Pajajaran, raja beserta keluarganya menghilang dari panggung sejarah. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa banyak dari bangsawan Pajajaran yang tersebar ke berbagai daerah di Jawa Barat. Mereka kemudian mengambil peran sebagai pemimpin lokal atau 'cutak' di berbagai dusun dan kampung. Seiring berjalannya waktu, para bangsawan ini mulai menerima Islam dan berbaur dalam tatanan sosial yang baru. Beberapa di antaranya menetap di wilayah seperti Cianjur dan turut serta dalam proses penyebaran Islam di daerah tersebut.

Runtuhnya Pajajaran menandai akhir dari satu era dan dimulainya babak baru dalam sejarah Jawa Barat. Di balik reruntuhan keraton dan kisah-kisah mitologis yang menyelimutinya, tersembunyi perubahan mendalam dalam tatanan sosial dan keagamaan, khususnya bagi masyarakat Sunda di tanah Priangan. Transisi ini membawa dampak yang signifikan, merombak sistem kerajaan yang lama dan menggantinya dengan tatanan yang lebih sesuai dengan perkembangan Islam di Nusantara.

Jejak Kejayaan Pakuan Pajajaran: Kekosongan Kekuasaan dan Warisan yang Tersisa di Bogor Pasca Runtuhnya Kerajaan

Setelah kehancuran Kerajaan Pajajaran oleh Kesultanan Banten sekitar tahun 1579, sejumlah atribut penting kerajaan dibawa ke Banten sebagai simbol penaklukan. Salah satu di antaranya adalah Watu Keling, sebuah batu yang digunakan dalam upacara penobatan raja-raja Pajajaran. Namun, jauh sebelum serangan tersebut, mahkota Binokasih, salah satu simbol tertinggi kekuasaan Pajajaran, konon berhasil diselamatkan dan diserahkan kepada pihak Sumedang oleh Prabu Siliwangi. Langkah ini menandai upaya terakhir untuk melindungi warisan dan kedaulatan simbolis kerajaan.

Setelah runtuhnya Pajajaran, kondisi di wilayah Bogor menjadi kosong dari penguasa tunggal. Letusan Gunung Salak yang terjadi di masa itu memperparah situasi, meninggalkan kawasan tersebut dalam kehancuran. Distrik-distrik yang tersisa hanya dipimpin oleh kepala kampung atau cutak, tanpa adanya penguasa tunggal yang memerintah seperti pada masa kejayaan Pajajaran. Sistem pemerintahan terpusat yang dahulu menjadi ciri khas Pakuan Pajajaran kini tidak lagi ada, meninggalkan kekosongan dalam struktur kekuasaan di wilayah Bogor.

Sebagian besar wilayah Bogor bahkan menjadi tidak berpenghuni, termasuk bekas pusat pemerintahan di Keraton Batutulis. Ketika arkeolog Scipio menemukan situs Batutulis di abad ke-17, kawasan tersebut telah lama tertutup semak belukar, dan ditemukan pula sisa-sisa ritual lama seperti sesajen, yang menandakan masih adanya jejak kepercayaan dan tradisi lokal dari masa silam.

Salah satu wilayah yang dibiarkan kosong tanpa pemimpin lokal adalah Dusun Empang, yang meluas hingga ke bekas pusat pemerintahan. Sejumlah nama tempat dari masa kejayaan Pakuan Pajajaran sebagai ibukota kerajaan tetap bertahan hingga hari ini. Nama-nama seperti Jero Kuta, Bale Kambang, Lawang Gintung, Tajur, Rangga Gading, dan Rancamaya masih ditemukan dalam catatan sejarah, meskipun keabsahan sejarah dan asal-usulnya baru dipastikan setelah ekspedisi orang-orang Eropa yang mengungkap situs-situs tersebut. Nama-nama ini menjadi pengingat akan kejayaan masa lalu, menggambarkan betapa luas dan pentingnya wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan di masanya.

Ekspedisi Eropa Pertama Menyusuri Jejak Pajajaran

Ekspedisi pertama yang dilakukan oleh orang Eropa untuk menyusuri wilayah dan menemukan jejak Kerajaan Pajajaran dipimpin oleh Sersan Scipio pada tahun 1687. Dalam perjalanannya, ia dibantu oleh Letnan Petinggi, seorang Ambon yang beragama Islam, serta Tanujiwa, seorang Sunda asal Sumedang. Tanujiwa sendiri kala itu diketahui tinggal di Kampung Baru Cipinang. Tim ekspedisi besar ini memulai perjalanan mereka dari Benteng Batavia pada Senin, 21 Juli 1687, dengan rute yang menyusuri wilayah-wilayah di sepanjang perjalanan dari Benteng Batavia di utara menuju Mester Cornelis (sekarang Jatinegara), Cipinang, Ciluar, Kedung Halang, hingga Parung Angsana【Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor, 1983】.

Rombongan tiba di Parung Angsana pada hari Jumat, 25 Juli 1687, dan mereka menginap selama empat malam. Dari tempat ini, untuk pertama kalinya tim ekspedisi tersebut menyaksikan dari kejauhan kemegahan Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak. Pada 29 Juli 1687, ekspedisi melanjutkan perjalanan ke arah selatan dengan tujuan menemukan bekas pusat kejayaan Kerajaan Pakuan Pajajaran【Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor, 1983】.

Pemandangan Sisa-Sisa Kejayaan Pakuan Pajajaran

Dalam catatannya, Scipio menggambarkan jalan antara Parung Angsana hingga Cipaku sebagai kawasan yang dulunya bersih dan tertata dengan baik. Sepanjang jalan, terlihat banyak pohon buah-buahan, tanda bahwa wilayah itu pernah dihuni oleh penduduk. Namun, dalam catatan Scipio, tidak disebutkan adanya penduduk yang menetap di kawasan tersebut pada masa itu. Menurut Saleh Danasasmita, perjalanan tim ekspedisi dalam mencari bekas pusat pemerintahan Pakuan Pajajaran diperkirakan mencapai wilayah Tajur, di mana sekarang berdiri Pabrik Unitex【Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor, 1983】.

Tanujiwa: Peletak Dasar Bogor Modern

Di antara anggota tim ekspedisi, Tanujiwa, seorang pribumi Sunda, memberikan kesan yang mendalam. Ia merasakan aura masa kejayaan Pakuan Pajajaran dan memiliki obsesi untuk menghidupkan kembali wilayah yang dilalui ekspedisi itu. Tanujiwa berkeinginan untuk menjadikan area antara Parung Angsana dan Cipaku sebagai pemukiman baru. Obsesi ini menjadi kenyataan setelah beberapa ekspedisi berikutnya, baik yang masih dipimpin oleh Scipio maupun oleh Adolf Winkler pada tahun 1690, serta Van Riebeeck.

Pada ekspedisi-ekspedisi tersebut, Tanujiwa berhasil membuka lahan baru di Parung Angsana, yang kemudian dikenal sebagai Tanah Baroe. Tanah Baroe menjadi pusat administrasi modern pertama di wilayah tersebut dan menjadi cikal bakal terbentuknya pemerintahan Bogor di bawah pengendalian seorang pribumi. Berdasarkan catatan sejarah ini, Tanujiwa dapat dianggap sebagai peletak dasar bagi pembentukan Bogor modern yang berkarakter pribumi【Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor, 1983】.

Awal Mula Bogor Modern dan Peran Para Kepala Kampung Baroe

Pembentukan Bogor modern, yang memiliki karakter lokal namun diatur dengan sistem administrasi sipil yang modern pada zamannya, dimulai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaf William Baron van Imhoff, yang menjabat antara tahun 1743 hingga 1750. Salah satu langkah penting yang diambilnya adalah mendirikan villa pada tahun 1744 yang kini dikenal sebagai Istana Bogor. Setahun kemudian, Baron van Imhoff menyatukan sembilan distrik dan wilayah-wilayah lain yang tidak berpenghuni atau tanpa pemerintahan menjadi satu entitas administratif yang disebut Regentschap Kampung Baroe Buitenzorg. Untuk memimpin wilayah ini, Baron menunjuk Raden Wiradinata sebagai kepala Kampung Baroe.

Rencana pembangunan Bogor sebagai kawasan pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal Belanda dimulai setelah kajian dari tiga ekspedisi sebelumnya yang dipimpin oleh Scipio, Winkler, dan Riebeck. Nama baru kota ini, Buitenzorg, yang secara harfiah berarti "tanpa risau" atau "tanpa masalah", mulai resmi digunakan, dengan konotasi sebagai kota yang menenangkan hati. Dalam interpretasi bahasa Sunda, istilah ini diartikan sebagai "suka ati", atau kebahagiaan yang menenangkan.

Raden Aria Wiradinata, yang diangkat sebagai kepala Kampung Baroe oleh Van Imhoff, merupakan putra dari Pangeran Wira Menggala. Nama lengkapnya adalah Haji Raden Aria Wira Tanu Datar II, lebih dikenal sebagai Mbah Dalem Tarikolot Cianjur. Ia juga merupakan cicit dari Pangeran Aria Kikis atau Sunan Wanaperih, seorang tokoh yang sudah memeluk Islam, dan keturunan dari Prabu Pucuk Umum alias Raja Talaga.

Meskipun masih memerlukan penelitian lebih lanjut dari para ahli sejarah Bogor untuk mengidentifikasi bupati-bupati sebelumnya, Raden Aria Wiradinata dianggap sebagai Bupati pertama Buitenzorg. Diperkirakan, ia menjabat antara tahun 1749 hingga 1752, dan wafat pada tahun 1754 di Tanah Baroe, yang kemudian dikenal sebagai Kampung Sukaraja. Makamnya kini terkenal dengan nama Pasarean Dalem Sukaraja Kaum.

Pada masa pemerintahan Raden Aria Wiradinata, posisi Patih Kampung Baroe, yang bertugas sebagai pembantu Bupati untuk mengepalai (Hoofd) para Demang, diserahkan kepada putranya, Raden Tumenggung Panji, yang juga dikenal sebagai Raden Natadireja. Berdasarkan catatan Endang Suhendar, atau yang lebih dikenal dengan nama Idang, ia resmi dilantik pada tanggal 19 Desember 1749.


Selanjutnya, jabatan Bupati kedua dilanjutkan oleh Raden Ngabehi Rakasatjandra, yang meneruskan kedudukan ayahnya, Raden Wiradinata. Menurut sumber yang sama, Rakasatjandra dilantik secara resmi sebagai Hoofd de Negorij Bogor pada tanggal 7 April 1752 dan menjabat hingga tahun 1758. (https://id.rodovid.org/wk/Orang:1066550)

Setelah itu, jabatan Bupati ketiga diemban oleh Raden Tumenggung Wiradireja, yang menggantikan saudaranya, Rakasatjandra. Ia memimpin Bogor dari tahun 1758 hingga 1761. Makam Raden Tumenggung Wiradireja terletak di kompleks Pasarean yang sama dengan makam ayahnya, Raden Wiradinata, di Pasarean Dalem Sukaraja Kaum.

Dengan kepemimpinan yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, terbentuklah Bogor yang berkarakter lokal namun tetap berada di bawah kendali administrasi kolonial Belanda. Kepemimpinan para Bupati lokal ini menjadi fondasi bagi Bogor modern yang berkembang pesat hingga kini.

Dok berbahasa Belanda yang menyebut nama Wiradiredja - Sumber Bapak Endang Suhendar


Dari Tanah Baroe ke Empang: Pemindahan Pusat Pemerintahan Bogor dan Awal Kampung Baru

Saat Raden Tumenggung Wiradireja menjabat sebagai Bupati Bogor yang berkedudukan di Tanah Baroe, ia mengajukan permohonan untuk menyewa sebidang tanah di kawasan yang kini dikenal sebagai Empang. Permohonan ini diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jacoob Mossel, yang memimpin antara tahun 1750 hingga 1761. Raden Wiradireja memilih Empang sebagai lokasi baru pusat pemerintahan, bukan tanpa alasan—lokasinya lebih dekat dengan pusat pemerintahan kolonial, memudahkan komunikasi dan interaksi antara penguasa lokal dan pihak Belanda.

Namun, pemindahan ini tidak langsung terealisasi. Setelah pengajuannya disetujui, putranya, Raden Haji Muhammad Thohir, yang lebih memilih berperan sebagai Penghulu Kampung Baru daripada Bupati, akhirnya meneruskan rencana ayahnya. Raden Haji Muhammad Thohir kemudian mempersiapkan infrastruktur pemerintahan baru di Empang, termasuk pembangunan Masjid Agung pertama yang menjadi pusat kegiatan spiritual masyarakat. Masjid ini selesai pada tahun 1815 dan menjadi simbol penting perkembangan wilayah Kampung Baru.

Tidak hanya masjid, Raden Haji Muhammad Thohir juga mempersiapkan pemukiman untuk kaum agamawan di Empang, serta alun-alun dan pendopo bupati. Alun-alun ini dipercaya dulunya adalah bekas area luar Keraton Pajajaran, berdasarkan penuturan sejarawan Bapak Saleh Danasasmita. Pendopo Bupati didirikan di tempat yang kini menjadi Rumah Sakit UMMI. Atas jasanya dalam membangun Kampung Baru sebagai pusat pemerintahan, Raden Haji Muhammad Thohir dikenal sebagai Uyut Kampung Baru.

Menariknya, jabatan Bupati yang diwariskan oleh Raden Tumenggung Wiradireja tidak diteruskan oleh Raden Haji Muhammad Thohir, melainkan oleh putranya, Raden Wiranata. Raden Wiranata dilantik sebagai Bupati bersamaan dengan peresmian Masjid Agung pada 1 September 1815, dan setelah itu ia dikenal dengan gelar Raden Tumenggung Adipati Aria Wiranata.

Dalam langkah yang penuh dengan strategi politis, Raden Tumenggung Adipati Aria Wiranata menamai Kampung Baru sebagai Kampung Sukahati. Nama ini dipilih bukan sembarangan, melainkan sebagai cerminan dari nama kolonial Buitenzorg yang bermakna "tanpa risau" atau "sukaati". Meski nama Sukaati tidak bertahan lama dalam penggunaan sehari-hari, dan masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Empang, penamaan ini menunjukkan kejelian politis Wiranata dalam menjaga harmoni antara tradisi lokal dan pengaruh kolonial.

Dok berbahasa Belanda yang menyebut nama Aria Wiranata - Sumber Bapak Endang Suhendar

Setelah masa jabatan Raden Wiranata, tidak banyak yang diketahui tentang Bupati-Bupati berikutnya hingga periode itu kosong dari catatan selama 54 tahun, sebagaimana yang tertulis oleh Bapak Endang Suhendar. Masa jabatan ini tertutup dalam kabut sejarah, tetapi yang pasti, pada tahun 1849 Raden Haji Muhammad Thohir wafat dan dimakamkan di area pemakaman khusus yang kelak dikenal sebagai Dalem Sholawat. Nama ini dinisbatkan kepada cucunya yang juga pernah menjabat sebagai Bupati Bogor.

Raden Aria Suriawinata, yang dikenal dengan sebutan Dalem Sholawat, mendapatkan popularitas yang lebih besar dari para pendahulunya karena perannya ganda sebagai ulama dan bupati. Selain membangun fondasi spiritual dan pemerintahan di Bogor, ia juga dikenal sebagai pendiri kota Purwakarta. Wafatnya Dalem Sholawat pada 13 Mei 1872, menandai akhir sebuah era penting dalam sejarah lokal, dan ia dimakamkan berdekatan dengan kakeknya, Raden Haji Muhammad Thohir, di pemakaman yang sama.

Begitu banyak jejak sejarah yang tersimpan di balik pemindahan pusat pemerintahan dari Tanah Baroe ke Empang. Dari pemilihan lokasi hingga pembentukan Kampung Sukahati, setiap langkah yang diambil mencerminkan harmoni antara tradisi lokal dan kebutuhan praktis pada masa itu. Meski nama Sukahati kini hilang dari percakapan sehari-hari, sejarah tetap mencatat peran penting dari para pemimpin lokal dalam membentuk wajah awal Bogor yang kita kenal saat ini.

Bogor, 12 September 2024
Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk ""Dari Tanah Baru ke Empang: Jejak Awal Bogor Modern""