"Di Bawah Terpal Lusuh: Sejarah Pasar Ledeng yang Tak Pernah Pudar"

 


Jelang fajar menyingsing, ketika langit masih berkerudung gelap, para pedagang mulai berdatangan, membuka kios-kios mereka di sepanjang ruas jalan dekat Jembatan Ledeng di Jalan Sedane. Di bawah siraman lampu jalan yang redup, deretan terpal plastik berwarna-warni membentang, meski beberapa di antaranya sudah lusuh, merekah oleh teriknya matahari dan terkoyak air hujan yang tak henti. Di antara para pedagang, terlihat mereka yang masih memikul dagangan di atas bahu, meletakkan tampah dari anyaman bambu di tanah, seolah membawa sejarah yang tak pernah lekang oleh waktu—mereka disebut tukang endul.

Para tukang endul ini adalah saksi bisu dari perjalanan panjang Pasar Ledeng, sebuah nama yang melekat sejak tahun 1920-an, bersamaan dengan berdirinya jembatan di atas Sungai Cisadane, tepat di kawasan yang dikenal dengan Leuwi Ceuli. Jembatan itu bukan sekadar penghubung, tapi juga saksi bisu bagi jalur pipa saluran air minum yang terpasang di bawahnya. Pipa-pipa besi ini membentang jauh dari sumber mata air di Ciburial, Kota Batu, untuk memenuhi kebutuhan warga kolonial di Buitenzorg. Sumber air itu, yang dikenal dengan nama Haminte, kini menjadi Jalan Haji Mansyur. Nama Haminte sendiri adalah pelafalan dari kata "gemeente," istilah Belanda yang berarti suatu kota dengan struktur pemerintahan otonom. Namun, dalam narasi masyarakat, sebutan ini erat dengan peran pemerintah kolonial dalam pengelolaan air minum yang mendominasi kehidupan sehari-hari.

Seiring tumbuhnya Pasar Ledeng di Empang, wajah pasar itu selalu dihiasi oleh para tukang endul yang menjajakan sayur-mayur segar dan buah-buahan hasil kebun mereka. Di pagi buta, mereka berangkat dari arah selatan, dari desa-desa di girang—kampung Cibeureum dan Pondok Bitung—berjalan kaki dengan tampah-tampah berisi hasil bumi. Di atas tampah-tampah itu, telur-telur ayam kampung tersimpan dengan rapi dalam ikatan yang disebut kanjut kundang. Perempuan-perempuan tangguh ini, dengan punggung tegap dan kaki yang tak pernah lelah melangkah, membawa lebih dari sekadar dagangan; mereka membawa cerita tentang kehidupan dan keteguhan.

Di balik keriuhan pasar, Pasar Ledeng menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah permukiman warga Arab di Empang, terutama setelah diberlakukannya kebijakan wijken passen stelsel oleh pemerintah kolonial Belanda. Pasar ini menjadi pusat aktivitas pagi hari, di mana para pembeli, terutama perempuan keturunan Arab, datang berbelanja dari pukul enam hingga pasar perlahan sepi menjelang pukul sepuluh. Namun, seiring berjalannya waktu, suasana pasar berubah. Kini, para pedagang masih bertahan hingga pukul dua siang, dengan kios-kios yang lebih permanen, meninggalkan jejak pasar yang tak lagi hanya hingar sesaat.

Pasar Ledeng, yang dulu digerakkan oleh semangat para tukang endul, kini hanya menyisakan segelintir dari mereka—tak lebih dari tiga orang. Mereka tak lagi memanggul hasil kebun sendiri, tetapi membeli dagangan dari pasar induk sayur di Bogor. Tampah yang dulu menjadi simbol perjuangan, kini hanya hiasan tempat barang dagangan yang dibawa dalam tas besar dan karung. Kehidupan terus bergerak, begitu pula pasar ini, yang berkembang setelah relokasi Pasar Alun-Alun Empang ke Pasar Ramayana pada tahun 1970-an. Kini, Pasar Ramayana telah berubah menjadi Bogor Trade Mall, jejak kejayaan pasar sayur yang dahulu bersanding dengan gedung bioskop Ramayana.

Begitu banyak cerita yang tersimpan disepanjang jalanan Empang dan masih terasa beberapa guratan masa lampau diantara banyaknya lapak-lapak yang berdiri kokoh.
Sejarah yang tak hanya sekedar tentang jual beli, tetapi tentang kehidupan yang terus berputar dibawah bayang-bayang masa lalu penulis. (Wallahu'alam).

Bogor, 18 Sepetember 2024
Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk ""Di Bawah Terpal Lusuh: Sejarah Pasar Ledeng yang Tak Pernah Pudar""