Pelurusan Sejarah dan Otokritik: Menjawab Pernyataan Dr. Syahganda Nainggolan

Hashim Djojohadikusumo

Dalam tulisannya yang berjudul Hashim Djojohadikusumo dan Masa Depan Pribumi di Indonesia, Dr. Syahganda Nainggolan dari Sabang Merauke Circle mengangkat isu ketimpangan ekonomi sebagai warisan kolonial Belanda. Ia berpendapat bahwa kaum pribumi selama era kolonial terjebak dalam posisi inferior sebagai pegawai dan koeli, sementara pedagang Tionghoa dan Arab dianggap sebagai kelompok yang diuntungkan dalam struktur ekonomi kolonial tersebut. Meskipun pandangannya menarik, klaim ini harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, karena mengabaikan dinamika kompleks yang terjadi dalam sejarah, serta kontribusi besar dari orang-orang Arab dan pribumi sendiri dalam melawan ketidakadilan ekonomi kolonial.

Untuk menelaah lebih dalam, mari kita cermati pandangan Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang wafat di Jakarta pada 16 September 1943. Surkati, seorang tokoh besar yang sangat memahami dinamika sosial-ekonomi masa Hindia Belanda, pernah memberikan jawaban penuh makna ketika ditanya tentang ekonomi masyarakat asing pada masa kolonial. Beliau menggunakan sebuah tamsil untuk menjelaskan situasi ekonomi saat itu:

Negeri ini diibaratkan sebagai sebuah perigi (sumur) yang penuh dengan air, di mana setiap orang membutuhkan air tersebut untuk kebutuhannya. Orang Arab datang terlambat, dengan membawa ember bocor yang menyebabkan air tercecer sebelum sampai di rumah. Meski demikian, mereka tetap merasa puas karena air yang tumpah telah mengalir kepada orang-orang di sepanjang jalan. Di sisi lain, orang Tionghoa datang pada malam hari, tanpa diketahui orang lain, dan tiba-tiba rumah mereka sudah penuh dengan air. Sementara itu, orang Belanda datang dengan membawa pipa besi, menancapkannya ke dalam sumur, dan secara diam-diam memenuhi rumah mereka dengan air tanpa diketahui orang lain.

Tamsil ini memberikan gambaran mengenai cara berbeda yang digunakan oleh kelompok-kelompok etnis dalam memperoleh keuntungan ekonomi pada masa kolonial. Orang Arab, seperti digambarkan oleh Surkati, memang hanya berusaha memenuhi kebutuhan dasar mereka, tetapi mereka tidak bisa dianggap sebagai kelompok yang memonopoli ekonomi. Sebaliknya, mereka adalah bagian dari masyarakat yang turut berjuang melawan dominasi ekonomi oleh Tionghoa dan Belanda, yang didukung oleh struktur kekuasaan kolonial.

Lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 di Solo dan Sarekat Dagang Islamijah pada 1909 di Bogor merupakan bukti perlawanan kolektif terhadap monopoli ekonomi. Kedua organisasi ini didirikan oleh saudagar Muslim, baik pribumi maupun Arab, yang merasa tertindas oleh dominasi Tionghoa yang difasilitasi oleh Belanda. Orang Arab bukanlah penjajah ekonomi seperti yang diasumsikan oleh Dr. Syahganda Nainggolan, melainkan mereka adalah bagian dari perjuangan pribumi dalam menentang ketidakadilan ekonomi kolonial.

Selain itu, imigrasi orang Arab ke Indonesia bukanlah semata-mata untuk mencari nafkah. Mereka datang tanpa membawa istri dari negeri asal dan menikahi perempuan pribumi. Dari sini lahirlah istilah "ahwal," yang berarti saudara seibu, menunjukkan bahwa keturunan mereka telah menjadi bagian dari masyarakat pribumi secara penuh. Akulturasi budaya, bahasa, dan identitas ini menjadikan mereka pribumi sejati, dengan peran signifikan dalam berbagai aspek kehidupan di Nusantara.

Pernyataan Dr. Syahganda Nainggolan bahwa Belanda menciptakan ketimpangan dengan hanya menguntungkan Tionghoa dan Arab juga bertentangan dengan fakta bahwa banyak pengusaha pribumi yang berhasil. Pengusaha seperti Agoes Moesin Dasaad, keluarga Bakri, keluarga Kalla, Tasripin, Nitisemito Raja Kretek dari Kudus, dan Haji Muslich, semuanya adalah contoh pengusaha pribumi yang sukses. Mereka tidak hanya berhasil, tetapi juga menunjukkan bahwa orang pribumi mampu merintis usaha yang mandiri, meski tanpa dukungan dari pemerintah kolonial Belanda.

Perlu juga dicatat bahwa Belanda memang memprioritaskan pendidikan bagi anak-anak dari kalangan feodal dan bangsawan untuk menjadi pegawai pemerintah (ambtenaar), tetapi hal ini tidak berarti seluruh pribumi dibentuk menjadi koeli atau pegawai. Banyak di antara mereka yang justru memilih jalur kewirausahaan dan berhasil mengembangkan usaha sendiri. Ini menunjukkan bahwa pribumi memiliki kapasitas untuk bergerak di luar struktur yang dibangun oleh Belanda.

Di sisi lain, sekolah-sekolah Al-Irsyad yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Surkati sejak 6 September 1914 di Batavia tidak mendidik murid-muridnya untuk menjadi pegawai kolonial. Sebaliknya, Al-Irsyad berkomitmen untuk membentuk generasi yang berjiwa wirausaha dan kepemimpinan. Seorang murid bernama Abdul Halim, misalnya, pernah ditantang langsung oleh Surkati saat memasuki sekolah tersebut. Surkati dengan tegas berkata, “Jika kamu ingin menjadi pegawai pemerintah Belanda, maka angkat koper sekarang dan tinggalkan sekolah ini.” Hal ini memperlihatkan visi Surkati dalam membentuk generasi mandiri yang mampu memimpin, bukan sekadar menjadi roda dalam sistem kolonial.

Kesimpulannya, pernyataan Dr. Syahganda Nainggolan tentang ketimpangan ekonomi pada masa kolonial memang mencerminkan sebagian realitas sejarah. Namun, pandangan bahwa Tionghoa dan Arab adalah kelompok yang paling diuntungkan, sementara pribumi hanya menjadi pegawai atau koeli, merupakan penyederhanaan yang tidak akurat. Orang Arab dan pribumi bukanlah penerima pasif dari ketidakadilan ekonomi, melainkan mereka adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk mengatasi monopoli ekonomi kolonial. Sejarah mencatat bahwa orang Arab dan pribumi sama-sama berperan penting dalam membangun ekonomi yang lebih adil di Indonesia.

Bogor, 14 Oktober 2024

Abdullah Abubakar Batarfie


 

Posting Komentar untuk "Pelurusan Sejarah dan Otokritik: Menjawab Pernyataan Dr. Syahganda Nainggolan"