Dalem Bogor: Jejak Bupati Sukapura yang Terasing di Empang



Raden Tumenggung Wiraadegdana, yang dikenal dengan julukan Dalem Bogor, adalah sosok yang meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Priangan. Ia menjabat sebagai Bupati Sukapura dari tahun 1855 hingga 1875, sebuah periode yang penuh tantangan. Dalam 20 tahun kepemimpinannya, ia dikenal sebagai pemimpin yang cakap, memadukan kebijakan tradisional dengan tuntutan modernisasi yang diminta pemerintah kolonial. Namun, perjalanan hidupnya berubah drastis ketika ia diberhentikan dari jabatannya dan diasingkan ke Bogor, sebuah langkah yang mencerminkan kompleksitas politik di Hindia Belanda kala itu.

Otto van Rees

Kehidupan Dalem Bogor di Sukapura menggambarkan usaha seorang pemimpin lokal dalam menjaga keseimbangan antara loyalitas kepada pemerintah kolonial dan tanggung jawab kepada rakyatnya. Namun, kebijakan pajak tanah tahun 1869, yang dirancang oleh Komisaris Jenderal P.K.T. Otto van Rees dengan bermusyawarah bersama 7 Bupati yang ada di Priangan, menempatkan Dalem Bogor dalam posisi sulit. Pajak ini bertujuan mengoptimalkan pendapatan kolonial tetapi meningkatkan beban masyarakat Priangan. Ketegangan pun memuncak ketika Gubernur Jenderal James Loudon mengambil keputusan untuk mengganti Dalem Bogor dengan pemimpin lain yang lebih patuh.


"Ketegasan Dalem Bogor dalam menanggapi kebijakan pajak yang membebani rakyatnya bukanlah tanpa dasar. Langkah berani ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang dalam, salah satunya dilakukan oleh Raden Anggadipa II, atau yang lebih dikenal sebagai Raden Tumenggung Wiradadaha VIII, Bupati Sukapura. Ia dikenal sebagai pemimpin yang tidak gentar menentang kebijakan pemerintah kolonial yang berupaya mengeksploitasi Sukapura sebagai penghasil tarum (nila), menggantikan hasil utama padi yang sudah menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat. Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan wilayah Priangan sebagai pusat penghasil kopi, komoditas yang sangat diminati di pasar Eropa. Namun, sikap tegas dan keberanian Raden Anggadipa II menunjukkan perjuangan untuk melindungi kepentingan rakyatnya dari kebijakan yang merugikan."

James Loudon

James Loudon (8 Juni 1824 – 31 Mei 1900) adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke 54. Ia memerintah antara tahun 1872 – 1875.

James Loudon adalah putra seorang Inggris yang datang ke Hindia Belanda semasa diperintah oleh Raffles (Alexander Loudon). Kakaknya John Francis Loudon adalah bendaharawan kerajaan dan kakaknya yang lain, yang juga bernama Alexander Loudon adalah kakek Alexander Loudon, diplomat Belanda. Ketika orang Belanda datang kembali, ia masuk warga negara Belanda dan kemudian mengepalai sebuah pabrik gula.

Pemecatan Dalem Bogor tidak hanya mengguncang struktur pemerintahan lokal tetapi juga menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat Sukapura. Ketika keputusan itu diumumkan, suasana Manonjaya menjadi kelabu. Warga berkumpul di alun-alun, berharap mendapat kepastian atas nasib pemimpin mereka. Ketika iring-iringan pengangkutan Dalem Bogor ke Bogor tiba, banyak di antara mereka yang menangis. Rakyat kehilangan sosok pemimpin yang tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mencoba melindungi kepentingan mereka di tengah tekanan kolonial.

Pengasingan di Kampung Empang: Antara Pengawasan dan Harapan Baru

Pengasingan Dalem Bogor ke Kampung Empang di Bogor menjadi babak baru dalam hidupnya. Kampung Empang kala itu merupakan kawasan yang sunyi, dikelilingi oleh rerimbunan pohon dan dekat dengan Masjid Empang yang menjadi pusat aktivitas masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggalnya terletak di sebuah lorong kecil yang kini dikenal sebagai Gang Krupuk. Tempat ini tidak hanya menjadi saksi pengasingannya tetapi juga menjadi bagian dari transformasi kawasan tersebut yang kemudian dikenal sebagai Kampung Arab.

Selama di pengasingan, Dalem Bogor mendapatkan tunjangan pensiun sebesar 300 gulden per bulan. Kehidupan yang ia jalani jauh dari gemerlap kekuasaan. Namun, di balik kesederhanaan itu, ia menunjukkan sikap tabah. Ia menikah dengan seorang wanita setempat bernama Nyai Uwen, seorang Sunda yang tinggal di Kampung Empang. Pernikahan ini memberikan warna baru dalam hidupnya, menciptakan keluarga kecil yang memberinya harapan di tengah keterasingan.

Meski berada di bawah pengawasan pemerintah kolonial, Dalem Bogor tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Ia sering dikunjungi oleh kerabat dan pejabat lokal yang ingin mendengarkan nasihatnya. Selain itu, kehadirannya turut memperkaya kehidupan sosial dan budaya di Kampung Empang, yang berkembang menjadi salah satu pusat komunitas Arab-Sunda di Bogor.

Suasana di Kampung Empang kala itu mencerminkan perpaduan budaya yang unik. Kehidupan sehari-hari berjalan di bawah pengaruh komunitas Arab yang mulai berkembang di kawasan tersebut. Hubungan Dalem Bogor dengan tokoh lokal, termasuk para pedagang dan ulama, memperluas jangkauan pengaruhnya meskipun dalam keterbatasan pengasingan.

Namun, tak dapat disangkal bahwa pengasingan ini adalah bentuk hukuman politik. Pengawasan dari pihak kolonial tetap ketat, dan langkah Dalem Bogor diawasi oleh pejabat Belanda seperti Residen C.W. van Hien, yang bertugas memastikan stabilitas di wilayah Bogor dan sekitarnya. Meskipun demikian, Dalem Bogor tidak pernah kehilangan martabatnya sebagai seorang pemimpin.

Masjid Agung Manonjaya tempo dulu

Pada tahun 1908, setelah puluhan tahun di pengasingan, Dalem Bogor diizinkan kembali ke Manonjaya. Sambutannya sangat meriah, menunjukkan bahwa masyarakat Sukapura tidak pernah melupakan jasa-jasanya. Ia menghabiskan masa tuanya di tanah kelahirannya hingga wafat pada tahun 1912. Meskipun dimakamkan di Tanjung Malaya, julukan Dalem Bogor tetap melekat, menjadi simbol pengingat akan perjuangannya.

Dari salah satu sumber, Dalem Bogor tercatat memiliki 34 orang putera dan puteri, salah satu diantaranya yaitu Rd. Rangga Wiratanoewangsa, yang pernah menduduki jabatan sebagai Bupati Sukapura ke XIII period 1901 - 1908. Pada masa kepemimpinannya, pusat pemerintahan dari Sukapura dipindahkannya ke Tasikmalaya, dan beliau menjadi Bupati pertama yang berkedudukan di ibu kota baru tersebut sebagai akibat kebijakannya pada pertimbangan ekonomi terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Kisah Dalem Bogor bukan hanya tentang seorang pemimpin yang diasingkan tetapi juga tentang keteguhan hati dalam menghadapi tekanan politik. Kampung Empang, dengan Gang Krupuk sebagai saksi bisunya, menjadi bagian dari narasi ini, mengingatkan kita bahwa sejarah selalu hidup di tempat-tempat yang mungkin tampak sederhana tetapi sarat makna.

Bogor, 2 Desember 2024

Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "Dalem Bogor: Jejak Bupati Sukapura yang Terasing di Empang"