Menguak Jejak Sejarah Masjid Al-Makmur: Dari Segenggam Beras Hingga Menara Bersejarah

 


Bersama komunitas Jalan Pagi Sejarah (JAPAS) yang digagas oleh Johnny Pinot, sabtu 30 November 2024 bertajuk Tintin 714, kami menyambangi Masjid Jami'e Al-Makmur, salah satu masjid bersejarah di Jalan Raden Saleh No.30, Cikini, Jakarta Pusat. Masjid ini menyimpan kisah panjang yang penuh perjuangan, menjadi saksi perjalanan umat Islam di Batavia dan kiprah para tokoh pergerakan nasional.

Masjid Segenggam Beras: Awal Mula Pembangunan


Masjid ini awalnya dikenal masyarakat sebagai "Masjid Segenggam Beras". Nama ini merujuk pada cara unik pembangunannya yang dimulai pada tahun 1930-an, ketika umat Islam di Kampung Cikini Binatu bergotong-royong mengumpulkan derma berupa segenggam beras. Dari upaya kolektif ini, berdirilah sebuah tempat ibadah yang kelak menjadi pusat kegiatan umat dan simbol perjuangan.

Namun, akar sejarah masjid ini bermula jauh sebelumnya, tepatnya pada tahun 1860-an, ketika Raden Saleh, pelukis dan intelektual terkemuka, mendirikan sebuah surau kecil dari kayu di samping rumahnya. Surau ini menjadi tempat ibadah bagi masyarakat sekitar hingga akhirnya lahan tersebut dibeli oleh Abdullah bin Alwi Alatas, seorang saudagar kaya yang dijuluki "Tuan Tanah Baghdad" karena kekayaannya yang luar biasa di Batavia.

Relokasi, Perjuangan, dan Peresmian Masjid Al-Makmur

Ketika Abdullah bin Alwi Alatas membeli lahan Raden Saleh, surau kecil itu dipindahkan secara gotong-royong ke lokasi baru. Proses relokasi ini tidaklah mudah. Pemerintah kolonial Belanda, yang kerap mencurigai pergerakan umat Islam, berusaha menggagalkan pembangunan masjid ini. Namun, berkat dukungan tokoh-tokoh besar seperti Haji Agus Salim, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Haji Mas Mansyur, masjid ini berhasil dibangun ulang dan diresmikan pada tahun 1932 dengan nama Masjid Jami'e Al-Makmur.


Hingga kini, Masjid Al-Makmur tetap berdiri megah. Beberapa properti klasiknya, seperti mimbar mihrab, jam antik, serta lemari penyimpanan mushaf Al-Qur'an, terawat dengan baik, memberikan nuansa historis yang kental di dalamnya.

Menara Kayu dan Riuh Rapat Raksasa Ikada

Salah satu daya tarik masjid ini adalah menara kayu setinggi 12 meter yang masih kokoh hingga kini. Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al-Makmur, Haji Sahlani, mengisahkan bahwa menara ini dulu digunakan oleh muazin untuk mengumandangkan azan sebelum adanya pengeras suara. Dari atas menara ini pula, menurut Kong Haji Sahlani, suasana riuh massa di Lapangan Ikada terlihat jelas pada 19 September 1945, saat Bung Karno berpidato mengobarkan semangat kemerdekaan dalam peristiwa yang dikenang sebagai "Rapat Raksasa Ikada".


Interior Kayu dan Peran dalam Pergerakan Nasional

Masjid ini dibangun tanpa campur tangan arsitek, murni berdasarkan kreativitas jamaahnya. Salah satu bagian menarik dari interiornya adalah balkon kayu yang berada di tengah ruang utama. Selain berfungsi sebagai ruang tambahan untuk shalat, balkon ini juga menjadi tempat berkumpul para tokoh pergerakan Islam. Lokasinya yang tersembunyi di balik atap masjid yang menjulang lancip membuat aktivitas di balkon ini luput dari intaian pasukan Marsose Belanda.

Simbol Pan-Islamisme dan Semangat Nasionalisme

Ornamen-ornamen masjid yang sarat makna tetap dipertahankan, termasuk simbol Pan-Islamisme dan Sarekat Islam (SI). Organisasi yang berdiri pada 1905 ini menjadi pelopor gerakan nasionalisme Indonesia yang menggabungkan semangat kebangsaan dan spiritualisme Islam. Sarekat Islam menjadi wadah perjuangan umat untuk meraih kemerdekaan, menegaskan bahwa nasionalisme yang religius dapat menjadi landasan cita-cita bangsa.

Kisah Masjid Al-Makmur bukan hanya tentang sebuah tempat ibadah, tetapi juga tentang perjuangan, solidaritas, dan semangat kebangsaan. Dari segenggam beras hingga menjadi simbol pergerakan nasional, masjid ini menjadi pengingat bahwa sejarah besar lahir dari langkah-langkah kecil yang dilandasi niat tulus dan kebersamaan.

Cikini di Raden Saleh, Jakarta 30 November 2024


Abdullah Abubakar Batarfie




















Posting Komentar untuk "Menguak Jejak Sejarah Masjid Al-Makmur: Dari Segenggam Beras Hingga Menara Bersejarah"