Ruh Kemuliaan Bangsa yang Diperjuangkan Ahmad Surkati
Di tengah masyarakat yang sejak lama terbiasa dengan sistem kelas, gelar, dan keturunan sebagai penanda kehormatan, sosok Ahmad Surkati hadir membawa gagasan yang revolusioner: almusawah, atau kesetaraan. Prinsip ini bukan hanya mencakup aspek sosial dalam hal nasab dan gelar, tetapi juga merambah ke seluruh lini kehidupan, termasuk pendidikan, hak politik, hingga kebebasan berserikat. Gagasan Surkati ini bukan sekadar idealisme utopis, tetapi sebuah prinsip yang terus relevan sepanjang zaman, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan tantangan sosial masa kini.
Kolonialisme dan Sistem Kelas
Pada masa kolonial Belanda, masyarakat di Nusantara diklasifikasikan secara ketat berdasarkan ras dan status sosial. Kelas-kelas ini menentukan segala aspek kehidupan seseorang, dari pendidikan, jabatan dalam pemerintahan, hingga akses terhadap fasilitas publik. Hanya kaum pribumi priyayi yang bisa masuk sekolah tertentu, sementara rakyat biasa harus puas dengan pendidikan seadanya. Bahkan dalam urusan transportasi, ada aturan bahwa kaum pribumi dilarang duduk sejajar dengan orang Eropa. Diskriminasi ini menciptakan kesenjangan yang semakin melebar dan mengakar dalam mentalitas masyarakat.
Budi Oetomo, yang sering dianggap sebagai pelopor gerakan nasional, nyatanya juga terjebak dalam eksklusivitas kelas. Organisasi ini sejak awal hanya membuka keanggotaan bagi kaum priyayi, menutup pintu bagi rakyat biasa yang juga ingin berjuang demi bangsanya. Inilah yang kemudian dikritik oleh Surkati dan Al-Irsyad, karena perjuangan sejati tidak boleh berbasis keturunan atau status sosial, melainkan atas dasar kecintaan terhadap ilmu dan keadilan.
Ahmad Surkati dan Perjuangan Kesetaraan
Ketika Ahmad Surkati tiba di Nusantara dan menyaksikan ketidakadilan ini, ia tak tinggal diam. Ia mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah pada tahun 1914 sebagai wadah pendidikan yang terbuka bagi semua kalangan, tanpa membedakan asal-usul atau status sosial. Ia menentang tradisi yang mengagungkan gelar dan keturunan sebagai sumber keistimewaan. Baginya, kemuliaan seseorang bukan ditentukan oleh nasab, tetapi oleh ilmu dan amalnya.
Salah satu bentuk perlawanan Surkati terhadap ketidakadilan adalah menolak anggapan bahwa keturunan Arab Hadhrami dari golongan Sayyid atau Habib lebih tinggi derajatnya dibanding kaum non-Sayyid (Irsyadi). Di kalangan masyarakat saat itu, ada keyakinan bahwa pernikahan antara seorang Sayyid dan perempuan non-Sayyid dianggap menurunkan derajat keturunan Sayyid tersebut. Surkati dengan tegas menolak pemikiran ini dan menyatakan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Hal ini membuatnya mendapat banyak perlawanan dari kelompok tradisionalis, tetapi ia tetap teguh pada prinsipnya.
Kesetaraan yang Menjadi Ruh Kemuliaan Bangsa
Prinsip yang diperjuangkan oleh Surkati tidak hanya berdampak pada komunitas Arab di Nusantara, tetapi juga pada gerakan kebangsaan Indonesia secara luas. Bung Karno sendiri mengakui peran besar Surkati dalam membangkitkan harga diri bangsa, menyebutnya sebagai _"Aba Ruh al-Jalil"_ Bapak yang telah memberikan ruh kemuliaan kepada bangsa Indonesia. Disela prosesi pemakaman Surkati pada 16 September 1943, Soekarno menyatakan bahwa Surkati telah mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Kesetaraan yang diperjuangkan Surkati tidak hanya berlaku di ranah sosial dan politik, tetapi juga dalam hal keagamaan dan budaya. Ia menyoroti bagaimana gelar-gelar seperti Raden, Gus, Andi, Daeng, Habib, Sayyid, Syarif, dan gelar lainnya, hingga Sir dalam budaya Barat sering kali menjadi simbol eksklusivitas. Ia (Surkati) tidak menolak penggunaan gelar-gelar tersebut sebagai bagian dari tradisi, tetapi menentang jika gelar digunakan untuk menempatkan seseorang lebih tinggi dari yang lain. Kesombongan atas gelar atau nasab, bagi Surkati, adalah bentuk riya, kesyirikan kecil yang berbahaya karena tidak disadari oleh pelakunya.
"Syirik itu bagaikan semut hitam di atas batu hitam di malam yang gelap gulita".
Demikianlah sebuah hadits menggambarkan betapa halusnya penyakit hati seperti riya dan merasa diri lebih mulia dari orang lain.
Relevansi Almusawah di Zaman Modern
Gagasan kesetaraan yang diperjuangkan Surkati tetap relevan hingga kini. Meskipun era kolonialisme telah berlalu, sistem kelas dan ketimpangan sosial masih nyata dalam berbagai bentuk. Akses terhadap pendidikan berkualitas masih lebih mudah bagi mereka yang memiliki privilese ekonomi. Jabatan dan posisi sering kali lebih dipengaruhi oleh latar belakang keluarga daripada kompetensi. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, masih ada kecenderungan untuk menilai seseorang dari status sosial dan simbol-simbol eksternal seperti gelar akademik atau keturunan.
Semangat almusawah yang dibawa Surkati mengajarkan bahwa penghormatan kepada seseorang harus didasarkan pada kepribadian dan kontribusinya, bukan karena gelar atau latar belakangnya. Kesetaraan ini bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi memastikan bahwa perbedaan tidak menjadi alasan untuk mengunggulkan diri atas orang lain.
Di dunia yang semakin kompleks, pesan Surkati tentang kesetaraan tetap menjadi pegangan penting. Ia mengajarkan bahwa kemuliaan sejati lahir dari keadilan dan ilmu, bukan dari garis keturunan atau status sosial. Dan selama prinsip ini terus dipegang, perjuangan untuk kesetaraan akan selalu hidup, sebagaimana semangat yang ditanamkan oleh Ahmad Surkati dan diwariskan kepada bangsa Indonesia.
Bogor, 22 Ramadhan 1446 H / 22 Maret 2025
Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk "Ruh Kemuliaan Bangsa yang Diperjuangkan Ahmad Surkati"
Posting Komentar