Empang, Sebuah Mozaik Sejarah Penuh Warna



Kampung Arab Empang di Bogor bukan sekadar kawasan tua, melainkan gugusan kisah yang mengalir dari abad ke abad. Dalam walking tour Jalan Pagi Sejarah (JAPAS) bersama Johnny Pinot, kami diajak menyusuri lorong-lorong penuh kenangan, menyentuh jejak sejarah komunitas Arab di Bogor yang berakar kuat sejak abad ke-18.

Tur dimulai dari Nasi Uduk Kaum 58 yang sudah eksis sejak 1898. Peserta dari berbagai kota berkumpul, termasuk Mas Sigit Kemayoran yang dikenal lewat konten sejarah tentang kota Batavia di masa colonial Hindia Belanda.  Sarapan pagi yang hangat menjadi pembuka perjalanan yang menyenangkan. Tur bersama Jalan Pagi Sejarah (Japas) bukan hanya membawa kami menyusuri jalan, tapi juga menyelami lapisan-lapisan sejarah yang telah membentuk identitas wajah kota Bogor hari ini.



MASJID AGUNG EMPANG & MAKAM DALEM SOLAWAT

Empang adalah panggung awal dari banyak kisah menarik yang ada di kota Bogor. Di sinilah para Bupati Bogor pernah menetap dan memimpin rakyatnya sejak 1754, dan di sini pula Masjid Agung Empang berdiri, sebagai pusat kegiatan spiritual, mengayomi masyarakat dari masa ke masa sejak tahun 1815, saat masih dikenal oleh warganya dengan sebutan Tajug Agung.


Di sekitarnya, terdapat makam para bupati dan patih, jaksa dan para penghulu di Buitenzorg, termasuk makam uyut Kampung Baru Raden Haji Muhammad Tohir dan cucunya Raden Adipati Aria Suriawinata yang dijuluki oleh masyarakatnya dengan sebutan Mbah Dalem Solawat. Selain sebagai seorang ulama, Dalem Solawat atau Raden Haji Muhammad Sirodz ini, dikenal luas pula sebagai seorang umaro yang pernah menjabat sebagai Bupati Karawang (1872-1849) dan Bupati Bogor (1849 - 1869).



Selain sebagai tokoh penting penghuni maqbaroh (makam) Keluarga Besar Mbah Dalem Solawat, yang menandakan komplek pemakaman itu memang dikhususkan untuk memakamkan anak keturunannya, juga terdapat makam Bupati Cirebon Raden Aria Suriadireja yang dijuluki orang sebagai Kandjeng Tjinere yang wafat pada 1904. Nama "Kandjeng Tjinere" dinisabatkan kepadanya karena beliau pernah menguasai lahan partikelir di Cinere Depok.

Masjid Pekojan di Empang Tempo Dulu


KAMPUNG PEKOJAN

Tak lengkap membicarakan komunitas Arab tanpa menyebut kawasan Pekojan, titik awal pemukiman orang Arab di Bogor. Di sinilah pada 1928 lahir Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cabang Bogor, sebuah organisasi Islam pembaharu yang memperjuangkan kesetaraan umat manusia dan menolak fanatisme sempit atas dasar keturunan atau kasta. Al-Irsyad mengusung corak pendidikan Islam yang modern, rasional, dan berpikiran maju, jauh melampaui zamannya. Ia mendorong anak-anak Arab Bogor untuk tidak hanya mengaji, tapi juga belajar ilmu pengetahuan, logika, dan peran aktif dalam masyarakat. Al-Irsyad pun tumbuh dan berkembang menjadi sebuah ormas Islam terbuka berskala nasional, yang juga banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional terkemuka Indonesia antaranya Prof.DR. HM Rasyidi, Letnan Kolonel TNI (Tit.) K. H. Raden Muhammad Yunus Anis, Prof. KH.Mohammad Farid Ma'ruf, Letkol Iskandar Ideris, K.H.M.Saleh Suaidy, KH Umar Hubeis, AR Baswedan, dan sejumlah tokoh nasional lainnya, yang juga pernah bersentuhan dengan Al-Irsyad, seperti DR. H. Mohammad Natsir, seorang ulama, politikus dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia.


KOPI LEGENDARIS BAH SIPIT

Perjalanan berlanjut ke Jalan Empang, kini dikenal sebagai Jalan Raden Saleh Syarif Bustaman, kawasan yang sampai kini menjadi pusat ekonomi komunitas Arab. Di sanalah kami singgah di Kopi Bah Sipit, kedai kopi yang sudah berdiri sejak 1925. Didirikan oleh Yoe Hong Keng, seorang Tionghoa totok, kopi ini bukan sekadar seduhan nikmat, tapi simbol toleransi, di mana Arab, Tionghoa, dan pribumi bisa duduk sejajar, berdiskusi, dan berbagi tanpa sekat. Tahun ini usianya genap satu abad, sebuah warisan budaya yang terus hidup dalam cangkir-cangkir kecil yang menebar kehangatan.


RUMAH KELUARGA BAJENED


Di perjalanan rombongan peserta Japas yang melangkah penuh semangat, di tengah terik matahari yang mulai meninggi, Kami juga berfoto bersama di halaman dan teras rumah bergaya Indies Empire style yang telah berusia lebih dari satu abad, kediaman Keluarga Bajened, yang kakeknya adalah Wijkenmeester Arab pertama di Buitenzorg, sebuah jabatan administratif (kepala kampung) yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur urusan komunitas Arab di dalam koloninya. Jabatan Wijkenmeester ini diberikan sebelum berubahnya status Hoofd der Arabieren berpangkat Liutenant der Arabieren alias Letnan Arab.


MASJID AN-NOER AL-ATTAS

Rute berikutnya membawa para peserta JAPAS menyusuri kemegahan Masjid An-Nur Al-Attas, yang didirikan oleh Syed Abdallah bin Muchsin Al-Attas pada tahun 1879. Interior masjid yang klasik langsung memukau pandangan, pintu dan jendela kristalnya berwarna-warni, berpadu harmonis dengan ornamen-ornamen khas di mihrab yang dilukis dengan tangan penuh ketelatenan. Decak kagum pun terdengar dari para peserta, terutama saat mereka menyaksikan langsung keindahan arsitektur masjid yang selama ini jarang bisa diakses secara leluasa, terutama oleh pengunjung perempuan.


Tur JAPAS kali ini menjadi momen istimewa, para peserta perempuan diberikan kesempatan langka untuk mengabadikan setiap sudut ruang utama masjid yang telah berusia lebih dari 146 tahun itu. Lensa kamera ponsel mereka seakan tak henti bekerja, merekam keindahan dan nilai sejarah yang terpatri dalam bangunan bersejarah ini.

Syed Abdallah bin Muchsin Al-Attas dikenal sebagai salah satu ulama besar dan tokoh penyebar Islam di Kota Bogor. Ia tak hanya mendidik para murid yang kelak tersebar sebagai ulama berpengaruh di berbagai penjuru Nusantara, tetapi juga mewariskan garis keturunan yang memainkan peran penting dalam dunia intelektual Islam.

Syed Muhammad Naquib al-Attas


Salah satu cucunya, Prof. Diraja Tan Sri Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang kini berusia 94 tahun dan menetap di ngeri jiran, dikenal luas sebagai cendekiawan Muslim terkemuka di Malaysia dan dunia internasional. Ia menguasai berbagai bidang ilmu seperti teologi, falsafah, metafisika, sejarah, hingga kesusasteraan. Pemikirannya banyak dituangkan dalam karya-karya monumental tentang peradaban Islam, sufisme, dan falsafah Melayu. Syed Naquib lahir di Bogor pada 5 September 1931, dan merupakan adik dari Syed Hussein Alatas, pendiri Partai Gerakan Rakyat Malaysia.

Langkah kaki kami tak hanya menapaki sejarah arsitektur, tetapi juga menyusuri jejak intelektual dan spiritual yang telah membentuk lanskap pemikiran Islam sejak lebih dari satu abad silam. Masjid An-Nur bukan sekadar bangunan, ia adalah penanda zaman, warisan yang terus hidup dalam doa, ilmu, dan cahaya.



MAKAM RADEN SALEH

Di balik gang-gang sempit dan lorong padat permukiman yang dulunya merupakan kawasan pekuburan Tionghoa, masih dikenal hingga kini dengan sebutan legendaris Kampung Tibong, walking tour JAPAS mengarah ke salah satu titik penting: makam Raden Saleh.

Raden Saleh, maestro seni lukis kelahiran Hindia yang menghabiskan masa mudanya menimba ilmu seni di Eropa, kembali ke tanah air dan memilih Bogor sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Sosoknya tak hanya diakui sebagai pelukis pertama dari Nusantara yang menembus panggung seni Eropa, tetapi juga dikenal karena karya-karyanya yang sarat muatan politik dan nasionalisme terselubung.

Salah satu mahakaryanya yang paling ikonik adalah “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857). Melalui lukisan ini, Raden Saleh merekam peristiwa kelam penangkapan sang pahlawan nasional oleh Belanda, namun dengan sudut pandang berbeda dari pelukis Belanda contemporer. Ia menggambarkan Pangeran Diponegoro dengan penuh wibawa, tegak berdiri, menolak tunduk—berbanding terbalik dengan lukisan Belanda yang menampilkan sang Pangeran sebagai sosok yang kalah dan tertunduk. Melalui goresan kuasnya, Raden Saleh menyampaikan kritik diam-diam terhadap penjajahan, sekaligus menyelipkan semangat kebangsaan yang halus namun kuat.

Makamnya yang tenang di Empang bukan hanya menjadi tempat peristirahatan, tetapi juga penanda bahwa Bogor pernah menjadi rumah bagi seorang seniman besar yang memperjuangkan identitas bangsanya melalui kanvas dan cat minyak. Dalam bisik angin dan langkah para peserta, warisan Raden Saleh terasa tetap hidup di antara gang-gang tua dan batu-batu nisan yang setia menyimpan cerita.



SITUS BATU DAKON

Tak jauh dari makam Raden Saleh di Kelurahan Empang, pada jalur gang yang sama, tersembunyi sebuah situs bersejarah yang nyaris luput dari perhatian—Batu Dakon. Peninggalan masa prasejarah ini menjadi penanda bahwa kawasan Empang telah dihuni jauh sebelum lahirnya kerajaan-kerajaan besar seperti Tarumanegara dan Pajajaran, bahkan sebelum wajah Bogor terbentuk seperti yang kita kenal hari ini.

Batu ini memiliki cekungan-cekungan kecil di permukaannya yang menyerupai papan dakon, permainan tradisional yang masih dikenal hingga kini. Namun pada masa lampau, batu semacam ini diyakini berfungsi sebagai media ritual atau sarana bercocok tanam, tempat menghitung musim atau persembahan dalam upacara kesuburan oleh masyarakat prasejarah. Sebuah jejak spiritual dan budaya yang membisikkan betapa tuanya peradaban yang pernah berakar di kota hujan.

Disudut Gang Banjar


GANG BANJAR & GANG INTAN

Jejak pengasingan Ratu Zaleha, srikandi dari Kerajaan Banjar, masih dapat dijumpai di  kawasan Gang Banjar dan di Gang Intan. Ia diasingkan ke Buitenzorg (Bogor) oleh pemerintah kolonial Belanda, mengikuti jejak suaminya, Gusti Muhammad Arsyad, yang telah lebih dulu dibuang ke tempat yang sama. Pengasingan ini adalah bagian dari strategi Belanda untuk memadamkan perlawanan rakyat Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, kakek Ratu Zaleha.

Di muka Gang Intan

Asal-usul nama Gang Intan sendiri berkaitan erat dengan kisah pilu yang menyertai masa pengasingan itu. Menurut cerita yang hidup di tengah masyarakat, nama “Intan” muncul dari legenda tentang berlian milik Kesultanan Banjar yang dirampas Belanda. Berlian seberat 70 karat itu kini disimpan di Rijksmuseum, museum nasional Belanda. Pemerintah Belanda pernah menyatakan akan mengembalikannya kepada Indonesia, namun hingga kini batu mulia itu belum juga pulang ke tanah asalnya.

Di balik kisah sejarah itu, terselip cerita haru tentang Nyai Salamah, ibunda Ratu Zaleha. Di masa tuanya yang diliputi kepikunan, ia kerap terlihat mondar-mandir di halaman belakang puri tempat pengasingan, mencari-cari berlian yang diyakininya masih tersimpan di sana. Kenangan itulah yang kemudian melekat dalam ingatan kolektif warga, dan secara turun-temurun memunculkan nama Gang Intan, sebuah lorong kecil yang menyimpan kenangan besar tentang kehilangan, ketabahan, dan sejarah yang tak terlupakan.



KANUNG BOGOR

Tur ditutup dengan makan siang hangat di Kanung Bogor, pelopor kuliner Timur Tengah di kota ini sejak 1974. Hidangan autentik seperti nasi kebuli yang harum dan lembut, sambosa yang renyah berisi daging berbumbu khas, serta roti mariyam manis yang menggoda tersaji lengkap di meja, mengundang selera sekaligus rasa syukur.

Lebih dari sekadar penutup yang mengenyangkan perut, momen ini memperkuat kesan bahwa perjalanan JAPAS bukan hanya tentang menapak jejak sejarah, tetapi juga menghidupkannya dalam bentuk yang paling manusiawi, melalui rasa, langkah, dan cerita. Sejarah tak lagi terasa jauh; ia hadir hangat di tangan, di meja, dan dalam obrolan antarpeserta yang kini pulang membawa pengalaman, bukan sekadar pengetahuan.



Walking tour JAPAS bukan sekadar menyusuri jalan-jalan lama dan lorong di masa silam, tetapi menyelami akar identitas yang membentuk wajah Bogor hari ini. Dari Masjid, makam, gang sempit, rumah tua, hingga dapur-dapur tua yang masih mengepul, semuanya merangkum kisah panjang tentang keberanian, migrasi, persaudaraan, dan warisan budaya.

Dengan semangat JAPAS, kami diajak melihat bahwa sejarah bukan benda mati yang terkurung di museum. Ia hidup, bernafas, dan bisa kita jejaki di tiap sudut kota, ditemani narasi yang hangat dari orang-orang yang mencintainya. Dan Kampung Arab Empang, seperti pagi itu, membuka pintunya untuk kita yang ingin menyimak dan mengenang.

Kampung Arab Empang bukan hanya tempat, tapi memori kolektif yang terus berbicara. Ia adalah bukti bahwa keberagaman bisa tumbuh dalam kedamaian, dan sejarah bukan hanya soal masa lalu, tapi juga tentang bagaimana kita memilih untuk mengingat dan merayakannya hari ini.

Bogor, 17 April 2025
Abdullah Abubakar Batarfie

Posting Komentar untuk "Empang, Sebuah Mozaik Sejarah Penuh Warna"