MADES (SOMAD) – Maestro Valet dari Kota Hujan
“Melukis bukan sekadar menuangkan warna di atas kanvas, tapi mencurahkan jiwa pada setiap guratannya.” (Abdullah A.Batarfie)
Mades, nama yang akrab dalam dunia seni rupa Kota Bogor, lahir dengan nama asli Somad pada 23 Juni 1942. Julukan “Mades” bukan datang dari langit. Nama itu (Somad Pabrik Es) diambil dari tempat ia sempat tinggal, kawasan Pabrik Es Saripetojo di Ciwaringin, Bogor. Dari tempat yang sederhana itu, seorang maestro lahir dan menapaki perjalanan panjang sebagai pelukis otodidak dengan bakat luar biasa.
Sudah sejak usia 6 tahun (1948), Mades mulai menggambar secara otodidak. Meski hanya mengenyam pendidikan terakhir di Sekolah Teknik Pertukangan Kayu (1957), naluri seninya tumbuh dengan liar dan mendalam. Ia bekerja di berbagai tempat: Biro Reklame (1960), hingga sebagai juru gambar alat-alat tembak untuk Koplat SIAD (Sekolah Intel Angkatan Darat) pada 1961–1963. Di sinilah ia juga berguru pada almarhum Bapak ENSA dan mulai mengeksplorasi seni patung relief.
Pada era 1960-an, Mades banyak berkarya di ranah seni religius: melukis dinding gereja seperti di Yayasan Santa Maria, Gereja Gembala Baik, dan Gereja San Fransiscus. Namun, pilihan subjek ini pula yang di kemudian hari memicu konflik batin mendalam, terutama ketika karya-karyanya dipenuhi sosok Yesus dan Bunda Maria. Dua kali dalam hidupnya, sekitar 1975–1977 dan 1995–1997, ia mengalami gangguan jiwa, yang disebut keluarga sebagai dampak tekanan ekonomi dan beban spiritual dari melukis objek religius yang bertentangan dengan keyakinan hatinya.
Salah satu kisah yang menyentuh; Mades sempat menolak permintaan membuat lukisan bertema Perjamuan Akhir dan Bunda Maria, meskipun ditawari bayaran besar. Alasannya sederhana, namun mendalam: hatinya tak sanggup. Namun demikian, ia pernah membuat 17 lukisan bertema serupa, sebelum akhirnya memutuskan berhenti total.
Meski menghadapi berbagai tantangan hidup, karya-karya Mades tetap tumbuh dan berbicara. Ia dikenal luas sebagai pelukis dengan teknik valet, teknik yang unik dan menonjolkan permainan warna dan tekstur dengan sensitivitas tinggi. Karena keunikannya ini, masyarakat seni Bogor menjulukinya “Maestro Valet Bogor” dan bahkan “Van Gogh Bogor”, merujuk pada kesamaan dalam ekspresi emosional yang kuat, gaya ekspresionis, serta ketekunan dalam kesunyian.
Mades sangat menjunjung tinggi kejujuran artistik. Ia membedakan jenis tanda tangan di tiap lukisan, sesuai dengan keaslian karya, sumber ide, atau bentuk penghormatan pada fotografer yang menjadi referensi. Ini menjadi prinsip moralnya: menghargai karya orang lain adalah bagian dari seni itu sendiri.
Berikut sebagian jejak karyanya di pameran seni:
- 1985: Pameran bersama oleh LKK Kosgoro Cabang Bogor
- 1986: Pameran bersama Bakom – PKB Kodya Bogor
- 1990: Pameran bersama di Alliance Française Bogor & Taman Ismail Marzuki (tema Habis Makan)
- 1991: Pameran tunggal di Gedung Kesenian “Mitra Budaya” Jakarta
- 2000: Pameran besar di Gedung Tegar Beriman, Kabupaten Bogor
- 2001–2004: Berbagai pameran bersama di Bogor dan Jakarta
Mades juga dikenal senang melukis potret rakyat kecil, kehidupan sosial, serta menerima jasa reklame dan lukisan potret pada masa-masa awal kariernya.
Ia menghabiskan akhir hidupnya di Kampung Abesin, Bogor, bersama istri tercintanya Rodiah. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai lima anak: Rudianto, Siti Salsiah, Ruswandi, Juniarti, dan Juliati Indayani. Mades adalah anak dari pasangan Dadi dan Umi, dan berasal dari keluarga sederhana yang penuh semangat.
Mades wafat pada 15 September 2009 dan dimakamkan di TPU Blender, Bogor, sebuah titik sunyi tempat maestro valet ini beristirahat, namun karya dan semangatnya akan terus hidup di hati para pecinta seni.
Tulisan ini bersumber dari wawancara dengan anak almarhum Madez dan sahabatnya Bapak Boy Tirta, budayawan kota Bogor
Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk "MADES (SOMAD) – Maestro Valet dari Kota Hujan"
Posting Komentar